H. Eddy Sulaeman (Sim Tjin Tju) (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Oleh: H. Eddy Sulaeman (Sim Tjin Tju)
SEBAGAI Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Etnis Tionghoa
dengan nama lahir Sim Tjin Tju (H. Eddy Sulaeman). Penulis ingin berbagi
pandangan dan pendapat berkaitan dengan isu pribumi dan non-pribumi yang sampai
saat ini masih terjadi.
Istilah pribumi dan non-pribumi adalah warisan penjajah Belanda. Belanda membuat istilah tersebut bertujuan untuk membuat perbedaan kelas, bertujuan untuk merendahkan. Namun, saat ini masih sering dipakai untuk mengekspresikan kebencian pada Etnis Tionghoa.
Istilah pribumi dan non-pribumi adalah istilah rasis yang
harus segera dihentikan dan diakhiri penggunaannya. Istilah pribumi dan
non-pribumi adalah bentuk ujaran/ekspresi penghinaan dan kebencian.
Istilah pribumi dab non-pribumi sudah pernah dilarang
penggunaannya pada tahun 1998 melalui Inpres yang dikeluarkan oleh Presiden BJ
Habibie. Atas dasar itu, menurut saya penggunaan istilah tersebut sudah
selayaknya dianggap sebagai pelanggaran hukum, melanggar pasal 156 KUHP.
Dalam catatan sejarah tidak ada manusia pribumi di
Indonesia, manusia pribumi di tanah Indonesia sudah punah jutaan tahun lalu,
kita semua pendatang di bumi Indonesia, nenek moyang kita manusia Afrika.
Jadi bagi siapapun yang mengaku sebagai manusia pribumi itu
kemungkinan keturunan Homo Erectus (manusia purba).
Etnis Tionghoa di Indonesia sudah menjadi korban
diskriminasi dan penyesatan sejarah sejak masa kolonial Belanda, Orde Lama dan
Orde Baru (Orla dan Orba), bahkan sampai saat ini pun masih terjadi.
Penulis (keturunan) Etnis Tionghoa sering dituding tidak
memiliki saham dan tidak turut berjuang atas berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sehingga seolah-olah warga keturunan ini WNI kelas 2,
sehingga warga keturunan seolah-olah tidak/kurang berhak menerima identitas
sebagai WNI.
Ada kebencian yang terwariskan turun-temurun dan segudang
tuduhan-tuduhan tidak berdasar yang dialamatkan kepada Etnis Tionghoa sehingga
kebencian yang begitu dalam terus terlestarikan kepada anak cucu kita.
Penulis kira warisan kebencian ini harus segera diakhiri dan
dihentikan, dimulai dengan tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan
non-pribumi untuk merujuk pada sebuah Etnis atau Ras. Jangan kita wariskan dan
lestarikan kebencian atas dasar SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) pada
manusia lain kepada anak cucu kita. Ajarkan dan kenalkan anak cucu kita sejarah
apa adanya. Hari ini kita hidup dalam kemudahan untuk mendapatkan segala macam
jenis informasi, tidak sulit untuk kita bisa mendapatkan informasi, tidak
sesulit jaman pra-internet, ada banyak informasi sejarah kelam diskriminasi
Etnis Tionghoa di Indonesia.
"Kita memang terlahir bermata sipit, tapi hati kita
tidak sempit".
Untuk mengenang dan memperingati Hari Sumpah Pemuda, penulis
ingin berbagi harapan sebagai Warga Negara Indonesia mari kita bangun negeri kita
dengan semangat ke-Bhinneka-an, bersumpah sebagai bangsa Indonesia akan menjaga
dan merawat persatuan Indonesia dan mari kita bersatu bersama membangun negeri
ini, Indonesia Raya.
Salam Sumpah Pemuda!
Merdeka! (***)
Penulis adalah warga
Keturunan bertempat tinggal di Kota Tangerang.
0 Comments