Warga RW 01 Kelurahan Juru Mudi menyaksikan penggusuran rumahnya. (Foto: Bambang TR/TangerangNet.Com) |
NET - Puluhan warga
beberapa RT di ntaranya RT 001 dan 002 RW 01, Kelurahan Juru Mudi, Kecamatan
Benda, Kota Tangerang, menangis histeris saat menyaksikan bangunan rumahnya diluluhlantakan
oleh aparat gabungan Polisi, Satpol PP Kota Tangerang dan di backup oleh
puluhan aparat TNI dengan menggunakan mobil beco.
Hal tersebut terjadi saat aparat gabungan melakukan eksekusi
atau pembongkaran puluhan rumah warga di RW 01, Kelurahan Juru Mudi,
Kecamatan Benda, Kota Tangerang, pada Selasa (1/9/2020) pagi.
Kepada TangerangNet.Com di lokasi penggusuran, Faisal, 28, yang
mewakili orang tuanya atas nama Nian Bin Risan, 63, mengaku tanah milik orang
tuanya seluas 376 meter persegi (Sertifikat Hak Milik- SHM) menolak nilai
ganti rugi yang diberikan oleh pihak Tol JORR (Jakarta Outer Ring Road atau Jalan
Tol Lingkar Luar Jakarta) II Kunciran-Bandara Seokarno-Hatta.
"Coba Abang wartawan bayangin, di situ tuh (menunjuk
terowongan jalan Tol JORR II-red) yang tidak jauh dari lokasi tanah dan
rumahnya, itu dulunya cuma sawah tapi tahun 2013 dihargai permeter Rp 7.600.000
dan sudah dibayarkan uangnya kepada
pemilik tanah. Lah tanah, saya yang bukan sawah (tanah darat) dan SHM juga masa
dihargain tahun sekarang cuma Rp 2. 600.000,” ucap Faisal.
Warga, kata Faisal, tidak minta yang aneh-aneh, minimal
sepahit-pahitnya sama lah dihargainnya sama tanah sawah terowongan itu. “Masa
tanah darat kami kalah harganya sama "tanah rumah keong" (sawah-red).
Di mana rasa keadilannya di negeri ini ? Kalau kami tidak dihargain jadi warga
negara Indonesia, kami lebih memilih jadi warga negara Brunai Darussalam yang
sangat menghargai warga negaranya," tutur Faisal, sambil berlinang air mata.
Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Desi, 37, warga RT 002
RW 01 Juru Mudi. Menurut Desi banyak kejanggalan dalam proses pembebasan
rumah dan tanah warga di RW 001 tersebut.
"Tidak ada musyawarah, tidak ada pembicaraan apapun
antara pihak yang berkepentingan dengan warga di sini. Dan dalam proses gugatan
ke pengadilan pun tidak ada putusan yang memenangkan siapapun, hanya N.O. yang
diputuskan oleh pengadilan. Kami tidak minta macam-macam, kami hanya minta
harga tanah kami yang darat ini minimal sama harganya dengan tanah sawah yang
diterowongan itu yang dulunya sawah. Masa tanah sawah tahun 2013 harganya Rp 7,
6 juta ngalahin tanah darat kami yang juga SHM tapi dihargai cuma Rp 2,6
juta," ungkap Desi.
Sejumlah aparat gabungan Polisi, Satpol PP, dan unsur TNI berjaga- jaga mengamankan penggursuran. (Foto: Bambang TR/TangerangNer.Com) |
Dalam kesempatan tersebut, Desi juga mengecam cara kerja
aparat keamanan dalam hal ini pihak kepolisian yang terlalu represif kepada
warga yang menolak penggusuran paksa tersebut.
"Keterlaluan itu polisi, perut saya disodok pakai kayu
sampai sakit banget rasayanya," tutur Desi, sambil berlinang air mata
memegangi perutnya.
Ar, 8, siswa kelas 2 SD bersama beberapa bocah seusianya
terlihat menangis histeris saat menyaksikan puluhan anggota Polisi merangsek ke
kawasan depan rumahnya untuk dikosongkan rumahnya. Beberapa bocah seusia Ar
terlihat menjerit-jerit dan menangis histeris menyaksikan para orang tua mereka
sedang berjuang saling dorong-mendorong dengan aparat Kepolisian.
"Aku benci polisi. Aku benci polisi,” teriak Ar sambil berusaha mencari batu.
Namun segera dicegah oleh beberapa orang ibu tetangganya. Ar pun menangis sejadi-jadinya menyaksikan
pengalaman pahit hidupnya yang tak akan pernah terlupakan. (btl)
0 Comments