Aris dan Wahyudi saat berdialog dengan FKMTI perampasan tanah. (Foto: Bambang TR/TangerangNet.Com) |
NET - Serikat Tani Sei Mencirim Bersatu (STSMB) dan Serikat
Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) mendesak agar Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil melaksanakan
Perintah Presiden Jokowi untuk mengemalikan hak tanah mereka yang telah digusur
dan dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Haj Guna Bangunan (HGB) Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) tanpa proses jual beli yang sah.
Hal tersebut disampaikan oleh Aris, Ketua Dewan Pembina SPSB
dan STSMB. Aris menjelaskan perintah Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada
Mei 2019 lalu telah sangat jelas, memerintahkan kepada menteri terkait agar segera
menyelesaikan konflik lahan tanah agar rakyat mendapatkan keadilan dan juga
kepastian hukum. Oleh karena hal tersebut, mereka tidak akan kembali ke
Sumatera sebelum Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil membuat keputusan tertulis
mengenai hak tanah warga.
"Kalau perusahan yang dapat konsensi lahan, swasta
maupun BUMN, baik HGU, HGB mempersulit, maka cabut hak konsesinya. Itu perintah
presiden kepada para menterinya, salah satunya Pak Sofyan Djalil. Harapan kami
kepada Pak Sofyan Djalil, agar segera melaksanakan perintah presiden
tersebut," ujarnya saat berdialog dengan Forum Korban Mafia Tanah Indonesia
(FKMTI), Rabu (2/9/2020).
Aris mengingatkan kepada menteri Sofyan Djalil agar lebih
mengutamakan kepentingan rakyat. Apalagi, Sofyan Djalil merupakan salah satu
menteri lulusan Universitas Indonesia (UI) yang menyandang nama besar bangsa
Indonesia. Universitas Indonesia bermotto : Probitas, Veritas, Iustitia (Kebenaran, Kejujuran, Keadilan). Jadi, Aries berharap Sofyan Djalil tidak
menjadi bagian dari kelompok kepentingan yang menjajah bangsanya sendiri
seperti pernah diutarakan oleh Bung Karno.
"Kami, petani, rakyat kecil tidak ingin alumni UI
menjadi bagian dari mereka yang saat ini menjajah para petani khususnya warga
Simalingkar dan Sei Mencirim yang sudah berjalan kaki (dari Deli Serdang-Sumaera
Utara, ke Jakarta) dan sudah bertemu Pak Presiden dan kembali presiden
memerintahkan agar masalah hak tanah rakyat untuk segera diselesaikan,"
tandasnya
Sedangkan Ketua STSMB Yudi Wahyudi mengatakan warga
telah menempati tanah tersebut lebih dari 70 tahun. Bahkan, banyak di antaranya
sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, pada bulan Maret 2020, rumah
dan kebun mereka telah rata dengan tanah, digusur dengan alat berat
dengan kawalan polisi dan tentara. Dan selang dua bulan kemudian, petugas BPN
datang dan menyatakan akan membatalkan surat kepemilikan warga.
"Pajak sudah dibayar tiap tahun. Kegiatan ekonomi sudah
terbentuk di sana, tanpa pemberitahuan, tiba-tiba digusur. Dan selang dua bulan
lebih kemudian, tanah 400 hektar sudah rata dan ditanam tebu, dan kemudian
datang para petugas BPN ke desa dan bilang jika Sertifikat (warga) akan
dibatalkan," ungkap Wahyudi saat berdialog dengan FKMTI, Rabu (2/9/2020).
Wahyudi menyatakan sangat heran dengan tindakan
petugas BPN yang semena-mena akan membatalkan SHM milik warga tersebut. Sebab,
sertifikat tersebut yang menerbitkan pihak BPN sendiri. Imam Wahyudi
mengungkapkan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam SPSB
dengan PTPN II adalah seluas ± 854 hektar. Sementara luas area yang berkonflik
petani yang STSMB dengan PTPN II, seluas ± 850 hektar dan tuntutan petani STSMB adalah seluas ±
323,5 hektar.
Sementara itu, menurut Sekjen FKMTI Agus Muldya Natakusuma,
banyak korban perampasan tanah yang bernasib serupa dengan para petani asal
Deli Serdang. Mereka tidak pernah menjual tanah tetapi di atas tanah milik
mereka terbit HGU ataun HGB. Agus mencontohkan kejadian tersebut juga banyak
terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Di antaranya, menimpa Robert Sudjadmin,
Rusli Wahyudi,
Nugraha, Ani Sri Cahyani, Samiun. (btl)
0 Comments