Neta S. Pane (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Oleh: Neta S. Pane
JADI pertanyaan memang, kenapa
dua jenderal dari lulusan Akpol 1991 bisa terlibat persekongkolan jahat dalam
memberi keistimewaan kepada buronan kelas kakap Joko Tjandra hingga akhirnya
mereka dicopot dari jabatannya dan terancam diproses pidana.
Dari penelurusan Ind Police Watch
(IPW), kedua jenderal Akpol 91 itu adalah Brigjen Nugroho Slamet Wibowo, 51,
dan Prasetijo Utomo, 50. Kenapa kedua jenderal Akpol 91 ini nekat
mempertaruhkan harga diri dan jabatannya hanya untuk melindungi buronan Joko
Tjandra? Padahal teman satu angkatan mereka, Komjen Listyo Sigit Prabowo
menjabat sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri.
Bersamaan dengan itu, saat ini sedikitnya ada 13 jenderal dari Akpol 91 yang
memegang jabatan strategis di Polri.
Pada era Kapolri Jenderal Polisi Idam
Azis, Akpol 91 memang mendapat keistimewaan karena memegang jabatan strategis
di Polri. Ada empat orang menjadi kapolda (Irjen M. Fadil, Irjen Wahyu Widada,
Irjen M. Iqbal, dan Irjen Merdisyam), Irjen Prabowo Argo menjadi Kadiv Humas,
Brigjen Syahar Diantono di SDM Polri.
Selain itu, nama ke-13 alumni Akpol 91 itu cukup populer di
masyarakat, di antaranya ada Brigjen Krishna Murti, Komisaris Besar (Kombes)
Yusri Yunus dan lainnya. Lulusan Akpol 91 ada sebanyak 123 orang. Di urutan
pertama Batalyon Bhara Daksa 91 itu terdapat nama K. Yani Sudarto kelahiran
September 1969 dan urutan terakhir adalah Krishna Murti kelahiran Januari 1970.
Sementara dua brigjen yang
terkena kasus Joko Tjandra, Brigjen Nugroho Wibowo berada di urutan 81 dan
Brigjen Prasetijo Utomo pada urutan 53, sementara Kabareskrim Sigit menempati
urutan 84.
Lulusan Akpol 91 yang termuda
adalah Ruben Verry kelahiran Agustus 1970 dan paling tua Chairul Azis kelahiran
Januari 1967. Sedangkan Adhimakayasa (lulusan terbaik) Akpol 91 adalah Irjen
Wahyu Widada.
Begitu banyak Akpol 91 di posisi
strategis, kenapa kedua brigjen itu tega mencoreng citra Promoter Polri. Akibat
ulah kedua jenderal Akpol 91 ini, harkat dan martabat Bangsa Indonesia mereka
gadaikan. Polri telah dijadikan agunan oleh kedua jenderal Polri ini untuk kepentingannya.
Kasus ini benar-benar memprihatinkan dan sangat memilukan.
IPW mendesak kasus ini diusut
tuntas. Harus diurai anatomi kasusnya. Apakah di belakang kedua jenderal alumni
Akpol 91 ini ada orang besar dan ini yang harus diusut tuntas agar orang tersebut
bisa diseret ke luar dan diadili? Sebab, tidak ada institusi lain yang
berwenang mengurus red notice buronan yang ada di luar negeri selain Polri.
Sebab itu, ketika ada jenderal di
NCB Interpol Polri bermain main dengan red notice buronan, atasannya harus
bertanggung jawab dan dicopot dari jabatannya. Selain itu, harus diungkap apa
alasan dari kedua jenderal Akpol 91 itu
mencabut red notice buronan Djoko Soegiharto Tjandra, hingga buronan tersebut
bebas ke luar-masuk Indonesia. Apakah ada gratifikasi atau hal lain?
Untuk mengusut tuntas kasus ini
Polri, jangan dibiarkan bekerja sendiri. Sebab Promoternya akan sangat
diragukan dan tidak mungkin "jeruk makan jeruk". Untuk itu, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) perlu membentuk Tim Pencari Fakta Independen atau minimal
memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam)
Mahfud MD memimpin penyelidikan kasus Joko Tjandra ini. Dengan demikian Mahfud
bisa meneliti dan berkoordinasi dengan Polri terkait pencabutan red notice
buronan kelas kakap Indonesia tersebut.
IPW meyakini bahwa jenderal Polri
yang terlibat dalam persekongkolan jahat melindungi Joko Tjandra itu memiliki
kepentingan sendiri maupun kepentingan oknum lain hingga harus mencabut red
notice buronan Djoko Tjandra dari Interpol dan memberi keistimewaan lain pada
buronan kakap itu.
Kasus ini harus segera
dituntaskan karena di luar negeri saat ini masih ada 38 buronan lain, seperti
Joko Tjandra. Jangan sampai ke-38 buronan ini kembali berkolusi dengan para
jenderal polisi untuk mendapatkan keistimewaan dan karpet merah. (***)
Penulis adalah Ketua Presidium
Ind Police Watch (IPW).
0 Comments