Kuasa hukum KMPK dipimpin Prof. Dr. Syaiful Bakhri mendaftarkan gugatan JR ke MK, Jakarta. (Foto: Istimewa) |
NET - Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) sehubungan
dengan keputusan DPR dan Pemerintah, menyatakan sikap penolakan atas penetapan Unddang
Undang (UU) No. 2/2020. Sikap penolakan KMPK dilanjutkan dengan mengajukan
gugatan Judicial Review (JR) atas UU No.2/2020 kepada Mahkamah Konstitusi (MK)
pada Rabu (1/7/2020).
Hal itu disampaikan oleh KMPK berupa Siaran Pers yang
diterima Redaksi TangerangNet.Com, Kamis (2/7/2020). Tercantum dalam Siaran
Pers tersebut Prof. Dr. M. Din Syamsuddin sebagai Ketua Komite Pengarah dan Dr.
Marwan Batubara selaku Ketua Komite Penggerak.
Disebutkan, tentang Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara
Presiden Jokowi telah menandatangani UU No.2/2020 pada 16 Mei 2020. UU No.
2/2020 tentang Penetapan Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan
StabiIlitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam
rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
stabilitas sistem keuangan menjadi undang-undang. Sebelumnya, Perppu No.1/2020
telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Sidang Paripurna 12 Mei
2020.
Gugatan judicial review (JR) UU No. 2/2020 ini konsisten
dengan sikap KMPK yang juga telah menggugat Perppu No. 1/2020 kepada MK pada 13
April 2020.
Penolakan KMPK terutama terkait dengan permasalahan:
relevansi penerbitan Perppu dan penetapannya menjadi UU No.2/2020 jika mengacu UUD
1945; Wewenang hak budget DPR yang tereliminasi pada pasal 2; Potensi
terjadinya penyelewengan, moral hazard dan korupsi pada pasal 27;
Hal itu potensi terulangnya kejahatan seperti terjadi pada Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada pasal 28; potensi timbulnya
otoriterianisme pada pasal 28.
KMPK menilai berbagai masalah tersebut perlu
disosialisasikan dan dipahami oleh masyarakat luas karena akan sangat berbahaya
terhadap kedaulatan negara dan kelangsungan hidup berbangsa. Muatan materi UU
No. 2/2020 didominasi oleh pembahasan persoalan ekonomi.
Walaupun judul Perppu/UU dikaitkan penyebaran Covid-19, nyaris
tidak ada satu bab terkait penanganan pandemi Covid-19. Hal yang sangat dominan
diatur terkait kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Khusus
bab 3, diatur kebijakan stabilitas sistem keuangan, kewenangan dan pelaksanaan
kebijakan BI, kewenangan dan pelaksanaan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), kewenangan dan pelaksanaan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
kewenangan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Adapun alasan-alasan utama KMPK menolak UU No. 2/2020 yang
isinya persis sama dengan ketentuan Perppu No. 1/2020 adalah sebagai berikut.
Satu, melanggar sejumlah pasal dalam UUD 1945, antara lain
Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 23E, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1).
Dua, berpotensi praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
kartel, dan mal-administrasi penggunaan APBN atas dasar penanganan dampak
Covid-19 terhadap sistem perekonomian nasional. Padahal untuk maksud tersebut,
telah tersedia mekanisme yang baku sesuai Pasal 27 UU No.17/2003 tentang
Keuangan Negara melalui penetapan UU APBN Perubahan.
Ketiga, berpotensi terjadinya abuse of power oleh lembaga
eksekutif karena dibatalkannya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang masih
berlaku.
Keempat, berpotensi terjadinya moral hazard karena status
kebal hukum dan pembatalan ketentuan dalam 12 UU yang berlaku terhadap pejabat
pemerintah yang tergabung dalam KKSK.
Kelima, dieliminasinya peran budgeting/APBN DPR. Padahal
penyusunan dan penetapan APBN, termasuk setiap sen uang rakyat sebagai pembayar
pajak dan penanggung hutang, harus memperhatikan kehendak dan kedaulatan rakyat
yang diwakili oleh DPR.
Keenam, dieliminasinya peran penilaian dan pengawasan konstitusional
DPR dan BPK atas penggunaan APBN.
Ketujuh, penetapan UU No.2/2020 sangat potensial meruntuhkan
kedaulatan negara, karena pemerintah telah bertindak sendiri tanpa mendengar
aspirasi publik dan partisipasi DPR dalam penetapan kebijakan dan APBN-P,
sebagaimana tercermin dalam Perpres No. 54/2020 dan Perpres No .72/2020.
KMPK menyatakan rasa keprihatinan dan kekecewaan yang
mendalam terhadap seluruh fraksi di DPR (kecuali Fraksi PKS) yang telah
membiarkan Pemerintah bertindak sepihak menetapkan APBN-P tanpa partisipasi
DPR. DPR justru telah membiarkan hak dan wewenang konstusionalnya secara
sukarela dirampas oleh Pemerintah.
KMPK mengajak segenap penyelenggara negara dan seluruh
elemen bangsa untuk memokuskan segala perhatian dan upaya untuk menanggaulangi
Covid-19 dalam rangka menyelamatkan dan melindungi kelangsungan hidup segenap
rakyat Indonesia, termasuk mengatasi berbagai kesulitan hidup rakyat.
Perlu disampaikan bahwa para advokat yang bertindak sebagai
Kuasa Hukum para pemohon JR yang tergabung dalam KMPK adalah Prof. Dr. Syaiful
Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad
Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr.
Dewi Anggraini,
Merdiansa Paputungan, SH., MH. dan lainnya. (*/pur)
0 Comments