![]() |
Anggota DPRD Emanuella Ridayati (kanan) saat meninjau TPA Cipeucang. (Foto: Bambang TR/TangerangNet.Com) |
NET - Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) ternyata
selama ini abai lingkungan hidup. Hal tersebut mulai terkuak bermula dengan
jebolnya turap Tempat Pembuagan Akhir (TPA) sampah Cipeucang pada Jumat (22/5/2020)
dini hari. Emanuella Ridayati, anggota DPRD dari Fraksi PSI yang berada di
Komisi III menyoroti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangsel.
Hal tersebut terungkap setelah melakukan kunjungan kerja dan
koordinasi dengan DLH Kota Tangerang beberapa
hari yang lalu. “Terungkap betapa tertinggalnya Kota Tangsel,” ujar Rida kepada
wartawan, Jumat (5/6/2020).
Sebagai perbandingan, kata Rida, luas Kota Tangerang dan
Kota Tangsel tidak terpaut jauh, 153,9 kilometer persegi (Kota Tangerang) dan
147,3 km2 (Kota Tangsel); penduduknya juga hampir sama 1.799.000 jiwa (Kota
Tangerang) dan 1.747.906 jiwa (Kota Tangsel). Sementara sampah yang dihasilkan
sekitar 1.500 ton per hari di Kota Tangerang dan hampir 1.000 ton per hari di
Kota Tangsel.
“Informasi yang saya dapat, TPA Cipeucang itu sejatinya
adalah Tempat Pemrosesan Akhir tapi ternyata hanya jadi pembuangan akhir tanpa
ada proses sama sekali, dan itupun kapasitas penanganannya hanya 380 ton per
hari sementara sampah Tangsel 1.000 ton per hari. Jadi ada backlog tiga kali
lipat”, tuturnya.
Teknologi yang dicanangkan awal mulanya adalah sanitary
landfill yang bila memang dilaksanakan dengan benar, kata Rida, tidak akan
terjadi tragedi lingkungan hidup seperti Jum'at minggu lalu. Sampah hanya
dibuang dan ditumpuk begitu saja.
“Dan dalam peninjauan kemarin terkait adanya undangan media
ke TPA Cipeucang, saya menyaksikan sendiri air lindi mengalir dan berleleran di
mana-mana, udara dipenuhi bau busuk menyengat. Tidak bisa dibayangkan rusaknya
lingkungan sekitar, air lindi meresap jauh ke dalam tanah, mencemari sumur
warga, mencemari air tanah, mencemari Sungai Cisadane. Ironisnya justru jadi
air baku PDAM Kota Tangerang Selatan," papar Rida.
Yang lebih mencengangkan, kata Rida, adalah Kota Tangerang
berhasil membukukan retribusi sampah sebesar Rp. 15 miliar. Sangat miris dengan
retribusi sampah di Kota Tangsel yang hanya berjumlah Rp. 3, 25 miliar, sangat
jauh sekali dibandingkan dengan Kota Tangerang.
“Dari perbandingan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah
sampah, dan penanganan sampah yang mirip, seharusnya potensi pendapatan daerah
Tangsel bisa paling tidak mirip atau mendekati," tegas Rida lagi.
Rida mengatakan sekarang kita lihat dengan anggaran DLH Kota
Tangsel yang sebesar Rp 107 miliar, memiliki 40 unit armada sampah, dan 150
tenaga pesapon. Sementara Kota Tangerang dengan anggaran Rp. 172 miliar
memiliki 460 armada sampah (Saber, Bison, Bentor, Dump Truck) dan 653 tenaga
pesapon. “Apakah sebanding dengan jumlah anggaran,” ucap Rida keheranan.
Menurut Rida, ada juga masterplan Kota Tangerang untuk TPA
yang bekerja sama dengan BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) senilai Rp
15,5 miliar, memang belum tahu apakah di Kota Tangsel ada juga.
Bila dilihat negara tetangga, kata Rida, bagaimana mengelola
sampah. Kita memang masih harus belajar banyak untuk pengelolaan sampah. Tidak
harus lahan luas untuk TPA, selama itu pemrosesan bukan pembuangan. Penggunaan
teknologi, baik sanitary landfill, incinerator atau pun mengajak masyarakat untuk
mengolah sampah dari rumah. Misalnya menampung minyak jelantah sehingga tidak
langsung digelontor di bak cuci piring dan masuk ke saluran air perkotaan,
memilah plastik dan masih banyak lagi.
"Yang diperlukan adalah political will kemauan politis
dan law enforcement penegakan hukum. Bisa dibilang Pemkot Kota Tangsel abai terhadap lingkungan hidup dan harkat
mendasar penduduk kota yang konon
bertajuk Cerdas, Modern dan Relijius ini," pungkas Rida. (btl)
0 Comments