![]() |
Ruslan Buton akan meninggalkan rumahnya ketika dijemput polisi. (Foto: Istimewa) |
NET - Polri harus segera membebaskan Ruslan Buton. Sebab apa
yang dituduhkan Polri kepada Ruslan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan
hanya menunjukkan sikap parno jajaran kepolisian yang tidak promoter.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW)
Neta S. Pane dalam Siaran Pers IPW yang diterima Redaksi TangerangNet.Com,
Minggu (31/5/2020).
Neta mengatakan Ind Police Watch (IPW) menilai, sebagai
rakyat, Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan penyampaian aspirasi seorang
rakyat dijamin oleh Undang Undang (UUD) ‘45. Sehingga, Polri boleh menangkap
dan memeriksa Ruslan lalu mengingatkannya untuk kemudian melepaskannya.
Ruslan ditangkap di rumahnya di Kecamatan Wabula, Buton, Sulawesi
Utara (Sultra), Kamis (28/5/2020). Penangkapan ini dilakukan setelah Ruslan
meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur lewat video yang viral di media
sosial pada 18 Mei 2020. Dalam video itu, Ruslan menilai tata kelola berbangsa
dan bernegara di tengah pandemi corona sulit diterima oleh akal sehat.
Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurutnya, solusi
terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi mundur dari
jabatannya sebagai Presiden. Bila tidak, bukan mustahil akan terjadi gelombang
gerakan revolusi rakyat.
Akibat pernyataannya itu, Ruslan dijerat pasal berlapis.
Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE. Yakni Pasal 14 ayat (1) dan
(2) dan/atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang
dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207
KUHP. Sehingga, dia dapat dipidana dengan
ancaman penjara dua tahun.
IPW, kata Neta, menilai Polri terlalu paranoid dengan
mengenakan pasal pasal itu terhadap Ruslan. Sehingga, Polri alpa dengan
kebebasan menyampaikan aspirasi yang dijamin UUD ‘45. Ruslan sebatas menyatakan
aspirasi dan mengingatkan serta tidak tindakan pidana ada ajakan untuk membuat
tindakan pidana yang dilakukannya.
“Sebab itu, tindakannya tersebut belum dapat dikualifikasi
sebagai sebuah tindak pidana, apalagi membuat kehonaran. Begitu juga mengenai
pasal informasi bohong yang disangkakan polisi terhadap Ruslan, menjadi
pertanyaan, dimana bohongnya?”
Apakah dengan pernyataan Ruslan itu, kata Neta, Jokowi bisa
serta merta berhenti jadi Presiden? Tentunya tidak. Pemberhentian Presiden
sudah diatur UUD 1945 dengan memenuhi lima persyaratan, yakni pertama jika
terlibat korupsi. Kedua, terlibat penyuapan. Ketiga, pengkhianatan terhadap
negara. Keempat, melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun. Kelima
kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi.
“Di luar itu, membuat kebijakan apapun, Jokowi tidak bisa
diberhentikan di tengah jalan, apalagi hanya membuat kebijakan mengatasi
Covid-19,” ungkap Neta yang mantan wartawan itu.
Jadi, imbuh Neta, jika Polri terlalu parno terhadap
pernyataan Ruslan, Polri bisa saja memanggil, menangkap, dan memeriksanya. Tapi
kemudian membebaskannya, setelah menasihati atau mengingatkan Ruslan.
Sebab, kata Neta, dalam konteks menyampaikan aspirasi,
penangkapan itu menjadi kurang relevan dikualifikasi sebagai tindak pidana, dan
hanya menunjukkan arogansi serta superioritas Polri yang tidak promoter.
“Untuk itu, IPW berharap aparat kepolisian untuk tidak
mengkhawatirkan pernyataan Ruslan,” ucap Neta. (*/pur)
0 Comments