Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Zulhas Sudahlah..!

Enggal Pamukti: mengalami penurunan.
(Foto: Istimewa/koleksi pribadi)



Oleh: Enggal Pamukti

MEMBACA  pergerakan perpolitikan Indonesia tidak bisa juga melepaskan peran Partai Amanat Nasional (PAN) yang lahir pada masa reformasi. PAN selalu eksis pada setiap Pemilu yang berlangsung, tidak pernah menjadi pemenang tetapi tidak pernah juga turun drastis. Baru pada Pemilu 2014 dimana Saudara Zulkifli Hasan (Zulhas) menjadi Ketua Umum PAN terjadi penurunan prosentase suara PAN dari 7,59 persen menjadi 6,84 persen pada tahun 2019 bukan preseden yang baik bagi sejarah Pemilu Legislatif (Pileg) yang diikuti oleh PAN. Apalagi jika suara tersebut dikonversi menjadi kursi DPR yang sebelumnya 49 kursi menjadi tersisa 44 kursi DPR RI atau diperingkat dari ranking 6 pada tahun 2014 jatuh ke peringkat 8 pada tahun 2019.

Paling tragis terjadi di seluruh Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah. Dari 8 kursi inchumbent DPR RI, PAN tak berhasil mengirimkan 1 perwakilanpun ke Senayan. Dari seluruh perhitungan perolehan suara yang ditambahkan pemilih baru pada tahun 2019, PAN dinilai gagal.

Seorang Elit Partai Matahari menilai kegagalan PAN mempertahankan atau menambah suara akibat PAN terlalu konsentrasi pada Pilpres yang kebetulan harus melawan Petahana dan mengalami kekalahan. Alasan ini tidak benar-benar bisa diterima jika melihat partai-partai pendukung Prabowo Subianto yang melawan Joko Widodo justru mengalami kenaikan suara seperti Gerakan Indonesia 
Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sebuah analisa menarik di meja Warung Kopi yang menyatakan bahwa kegagalan PAN akibat leadership yang lemah pada era 2015-2020 harus ditanggapi secara serius. Kawan yang memang salah seorang pendiri PAN tersebut menganggap sikap plin-plan partai menjadi penyebab kekalahan PAN pada Pileg 2019. Partai yang pada tahun 2014 menjadi oposisi pemerintahan lalu tiba-tiba terbeli, masuk koalisi pemerintahan Joko Widodo dan pada akhir tahun 2018 menyatakan bercerai hanya untuk kembali melawan Joko Widodo di Pilpres 2019. Plin plan, culas, dan tidak ada loyalitas adalah kesan dari kronologi perpindahan dukungan yang terlalu frontal tersebut.

Akibat inkonsistensi sikap PAN seperti itulah baik di Media Sosial maupun pergerakan darat PAN tidak mendapatkan banyak dukungan. Kebijakan Pengurus Partai yang tampak tidak berintegritas seperti itu tentu berpengaruh pada psikologi pemilih yang terbelah secara ekstrim pada Pemilu tahun 2019 kemarin. Pemilih menyukai partai yang tegas dan istiqomah dalam bersikap.

Kalau boleh disimpulkan, kepemimpinan lemah dan kurang mampu membaca arah konstituen merupakan satu kesatuan dalam mendefinisikan kegagalan PAN periode 2015-2019.

Lalu atas dasar moral seperti apa kepemimpinan gagal memberanikan diri kembali memajukan diri sebagai Ketua Umum Partai? Jabatan menteri, Ketua MPR dan Ketua Umum Partai seolah tak cukup baginya padahal pada setiap jabatan yang diemban tak terlihat prestasi yang membanggakan. Hanya tersisa residu kekuasaan berupa pemanggilan penegak hukum yang sedang mencoba menggali kaitan pidana pada kekuasaan dia pada masa lalu.

Cermat menilai, cerdas memutuskan dan tepat memilih. Itu yang harus dilakukan kader-kader pengurus PAN dalam memilih Pengurus Pusat agar PAN kembali bersinar seperti Matahari. Kalau saja tidak, maka PAN akan tenggelam di ufuk Timur tempat Kongres berlangsung.

Selamat ber-kongres kepada seluruh Kader PAN  yang pada hari ini mulai berdatangan di Kota Kendari. (***)

Penulis adalah peneliti di Don Adam Sharing Academy.

Post a Comment

0 Comments