Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (tengah) dan pengurus Mahutama seusai uadiensi. (Foto: Istimewa/AK) |
NET - Sejalan dengan kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Masyarakat
Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) mendukung Amandemen UUD 1945 secara
terbatas, terutama terkait dengan reformulasi sistem perencanaan pembangunan
dengan model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), penguatan kedudukan MPR,
dan menghidupkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR.
Ketua Umum Mahutama Aidul FItriciada Azhari mengatakan hal
itu seusai beraudiensi dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo didampingi Ma’ruf Cahyono, Sekjend MPR RI
di Ruang Tamu Ketua MPR Gedung DPR/MPR RI Jalan Jenderal Gatot Subroto,
Jakarta, Senin (20/1/2020).
Aidul didampingi oleh Sekjen Mahutama Auliya Khasanofa,
Zaenal Arifin Hoessein - Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ahmad -
Kaprodi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH UMT), dan
Zulhidayat.
Aidul yang juga Anggota Komisi Yudisal RI menjelaskan
reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN secara
konstitusional merupakan perwujudan dari Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
yang menghendaki adanya perencanaan pembangunan yang dilakukan sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Secara kelembagaan, kata Aidul, “usaha bersama” yang dimaksud adalah
dilaksanakan oleh MPR yang merepresentasikan seluruh perwakilan rakyat. Dengan
demikian, perencanaan pembangunan tidak ditentukan oleh satu Presiden terpilih
melainkan oleh seluruh komponen bangsa. Dengan cara itu, model GBHN pun akan
menjamin kesinambungan pembangunan dari satu pemerintahan ke pemerintahan
berikutnya serta menjamin koherensi perencanaan pembangunan antara Pusat dan
Daerah.
Secara kontekstual, kata Aidul, perencanaan pembangunan
dengan model GBHN terbukti sejalan dengan perkembangan abad ke-21 yang
ditunjukkan oleh kebangkitan ekonomi negara RRC yang secara konsisten
menggunakan sistem perencanaan pembangunan yang disusun oleh suatu lembaga
dengan kewenangan tertinggi – dalam hal ini di RRC dipegang oleh Kongres Rakyat
Nasional (National People Congress) -- untuk kemudian dilaksanakan oleh seluruh
lembaga negara.
Aidul yang juga Guru Besar HTN Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Jawa Tengah, itu menambahkan penguatan kedudukan MPR terkait dengan
gagasan dasar para pendiri tentang adanya lembaga negara yang merepresentasikan
seluruh rakyat dan sekaligus mewujudkan tradisi permusyawaratan dalam proses
pengambilan keputusan negara.
Makna kata “Majelis”, imbuh Aidul, menunjukkan bahwa MPR
dimaksudkan untuk tempat melakukan permusyawaratan atas segala macam urusan
kenegaraan oleh seluruh perwakilan rakyat sebagaimana makna “Majelis” dalam
tradisi Islam dan tradisi asli bangsa Indonesia yang mengenal “rembug desa”
sebagai lembaga pengambilan keputusan tertinggi. Penguatan MPR itupun sejalan
dengan pelaksanaan sila ke-4 Pancasila yang menghendaki adanya demokrasi
berdasarkan permusyawaratan perwakilan, sehingga diperlukan lembaga negara yang
memiliki kewenangan tertinggi untuk membicarakan, mendialogkan, dan
memusyawarahkan semua urusan negara dengan melibatkan seluruh perwakilan rakyat
dan seluruh komponen bangsa.
Aidul menguatkan kebijakan Muhammadiyah menghidupkan kembali
keberadaan Utusan Golongan sebagai representasi dari masyarakat sipil yang
mewadahi kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keberadaan
Utusan Golongan memiliki basis historis yang kuat karena NKRI didirikan bukan hanya
oleh partai politik, melainkan juga oleh golongan-golongan sosial, seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Paguyuban Pasundan, Budi Utomo,
dan Taman Siswa yang secara aktif memperjuangkan kemerdekaan jauh sebelum
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Aidul menjelaskan golongan-golongan sosial tersebut memiliki
peran historis yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki hak dan mekanisme
politik untuk menempatkan perwakilannya di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Oleh karena itu, sangat relevan untuk menempatkan perwakilan dari
golongan-golongan sosial dalam MPR sebagai bagian dari mekanisme kelembagaan
untuk memperkuat dan melengkapi perwakilan rakyat di MPR yang bersifat
non-politik. Dengan demikian, MPR dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat
sepenuhnya sehingga memperoleh kedudukan sebagai lembaga negara dengan
kewenangan tertinggi.
Dalam melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945, kata Aidul,
MPR perlu mempertimbangkan untuk memberlakukan doktrin Struktur Dasar (Basic
Structure Doctrine) yang sudah diberlakukan di beberapa negara, termasuk India,
Malaysia, Singapura, guna menentukan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, atau
ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diubah, baik oleh MPR maupun oleh MK.
Menurut Aidul, ketentuan Pasal 37 ayat (5) Perubahan Keempat
UUD NRI Tahun 1945 sudah menentukan “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Ketentuan Pasal 37 ayat
(5) ini sejalan dengan doktrin Struktur Dasar, tetapi MPR perlu menetapkan
lebih banyak ketentuan-ketentuan yang termasuk sebagai Struktur Dasar agar
amandemen UUD 1945 ke depan memiliki batasan-batasan normatif yang jelas.
Sepanjang sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia, para pendiri negara
pernah menetapkan ketentuan-ketentuan dasar yang tidak dapat diubah yang
disebut sebagai “esensialia UUD 1945”, yang mencakup Pasal 27, Pasal 29, dan
Pasal 33 UUD 1945 jelas Aidul
Sementara itu, Auliya Khasanofa menyampaikan kesiapan Mahutama melaksanakan kajian dengan
MPR RI apalagi saat ini terdapat Perguran Tinggi Muhammadiyah yang di dalamnya
terdapat 38 Fakultas Hukum dan 4 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) yang tersebar
di seluruh Indonesia. Adanya guru besar, doktor, dosen yang menjadi Pengurus Mahutama
termasuk aktif di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Bambang Soesatyo mengapresiasi buah pikiran dan upaya Mahutama
dalam penguatan sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya dorongan untuk
amandemen terbatas. Bamsoet langsung menyampaikan kepada Ma’ruf - Sekjen MPR RI
untuk segera menindaklanjuti kajian bersama Mahutama di seluruh Indonesia.
(*/pur)
0 Comments