Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Melawan Tuduhan Terorisme Di Indonesia Adalah Rekayasa

Stanislaus Riyanta
(Foto: Istimewa//koleksi pribadi) 


  

Oleh: Stanislaus Riyanta

SETIAP KALI terjadi peristiwa teror di Indonesia, nyaris selalu muncul ujaran dari pihak tertentu yang menyebutkan bahwa aksi teror tersebut adalah rekayasa, bahkan dugaan terbaru oleh seorang tokoh disebutkan bahwa dia menkhawatirkan aktor bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara (13/11/2019) adalah negara seperti pada jaman orba. 

Tuduhan nyinyir terkait aksi teror di Indonesia juga terjadi ketika Wiranto yang pada saat itu menjabat Menko Polhukam menjadi korban aksi teror di Pandeglang, Banten (10/10/2019). Bahkan komentar nyinyir dan tuduhan rekayasa atas kasus teror terhadap Wiranto selain muncul dari masyarakat umum juga muncul dari istri prajurit TNI. Tuduhan dan komentar yang bias ini tentu harus diluruskan agar tidak menjadi hal yang kontraproduktir terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia.

Fakta paling mudah untuk membuktikan adanya kasus terorisme adalah adanya proses hukum. Sejak tahun 2000 hingga pertengahan 2018 tercatat sebanyak 1.499 orang menjalani proses hukum karena peristiwa terorisme. Persidangan dalam proses hukum tersebut dilaksanakan secara terbuka sehingga bisa dilihat secara langsung oleh masyarakat. Dengan tambahan kasus bom Surabaya dan aksi-aksi lainnya hingga terakhir kasus bom Medan maka lebih dari 2.000 orang telah diproses hukum karena terlibat dalam aksi terorisme. 

Polisi saat ini memang menjadi target dari aksi teror terutama oleh kelompok atau orang yang berafiliasi dengan ISIS. Tugas Polri untuk menegakkan hukum termasuk atas tindak pidana terorisme membuat kelompok atau orang yang mempunyai paham radikal menjadikan polisi sebagai thagut atau musuh yang harus diperangi. 

Dikutip dari Kompas, aksi-aksi teror yang terjadi terhadap polisi seperti di Kebumen (15/3/2010), Purworejo (22/9/2010),  Deli Serdang (22/9/2010), Klaten (1/12/2010), Cirebon (15/4/2011), Poso (3/6/2013), Tasikmalaya (20/7/2013), Semarang (16/9/2013), Jakarta Pusat (14/1/2016), Surakarta (5/7/2016), Makassar (1/1/2018), Depok (8/5/2018), Surabaya (14/5/2018), Pekanbaru (16/5/2018), Banyumas (25/5/2018), Sukoharjo (3/6/2019), Surabaya (19/8/2019) dan terakhir di Medan (13/11/2019). Belasan aksi teror terhadap polisi dalam sepuluh tahun terakhir ini membuktikan bahwa kelompok teroris melakukan serangan terhadap polisi sebagai bentuk perlawanan terhadap negara.

Data dan fakta tersebut di atas membalikkan logika dan persepsi pihak-pihak yang menyebutkakn bahwa terorisme di Indonesia adalah rekayasa atau settingan. Dengan banyaknya korban dari masyarakat maupun dari aparat kepolisian dalam kasus terorisme di Indonesia, sekaligus adanya fakta-fakta persidangan yang sudah dilakukan, maka jika ada pihak yang meragukan adanya terorisme di Indonesia patut diduga bahwa pihak tersebut adalah bagian dari aksi terorisme yang bertugas untuk melakukan propaganda di masyarakat dan melemahkan program penanggulangan terorisme.

Prediksi Selanjutnya

Aksi terorisme di Indonesia dipengaruhi oleh dinamika terorisme trans-nasional. Saat ini kelompok atau orang dengan paham radikal di Indonesia, yang menggunakan aksi teror sebagai cara untuk mencapai tujuan, lebih dominan terpengaruh oleh ISIS. Beberapa kelompok di Indonesia yang berafiliasi dengan berbaiat dengan ISIS antara lain JAD, JAT, JAKDN, dan MIT. Kelompok-kelompok ini bisa dengan cepat berubah namun kiblatnya tetap sama yaitu ISIS.

Dengan terdesaknya ISIS di Timur Tengah saat ini dan pasca kematian pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, maka dinamika kelompok radikal di Indonesia diprediksi justru akan menguat. Terdesaknya kelompok ISIS di Timur Tengah justru akan menyebarkan kekuatan ke daerah lain, dan tewasnya pimpinan ISIS di Suriah akan memicu aksi balas dendam simpatisannya.

Dengan kejadian tewasnya Abu Bakar al-Baghdadi maka thagut atau musuh yang harus diperangi oleh kelompok atau orang yang berafiliasi dengan ISIS akan bertambah, setelah sebelumnya target utamanya adalah polisi dan biasanya rumah ibadah, maka karena Abu Bakar al-Baghdadi tewas oleh pasukan Amerika, simbol-simbol Amerika atau orang asing di Indonesia diperkirakan akan menjadi target prioritas dari kelompok atau orang yang berafiliasi dengan ISIS. 

Aksi terorisme di Polrestabes Medan (13/11/2019) diduga kuat menjadi aksi balasan pertama dari kelompok atau orang yang berafiliasi dengan ISIS terhadap pihak yang dianggap sebagai thagut di Indonesia. Dengan kondisi saat ini maka potensi aksi teror ke depan masih cukup kuat terutama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru yang biasanya menjadi momentum dengan daya tarik kuat bagi teroris untuk melakukan aksinya.

Kewaspadaan terhadap ancaman terorisme di Indonesia tidak boleh melemah. Berbagai logika yang menyesatkan serta persepsi yang menyudutkan pemerintah terutama Polri tidak perlu ditanggapi. Pemerintah dan Polri lebih baik fokus untuk melakukan penanggulangan terorisme salah satunya dengan mambangun kolaborasi yang kuat dengan masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan cegah dini ancaman radikalisme dan terorisme di masyarakat. Terorisme tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. (**)

Penulis adalah analis intelijen dan terorisme, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.


Post a Comment

0 Comments