![]() |
Gan Gan R.A. (Foto: Istimewa/Koleksi pribadi) |
Oleh Gan-Gan R.A.
OLIGARKI partai politik dalam sistem demokrasi liberal
seringkali memegang tali kali, maksud dan tujuan serta kepentingan politik dari
mesin partai dan elite politik yang tengah berkontestasi.
Ongkos berpolitik
yang cukup besar pada akhirnya membuka ruang politik transaksional dengan
pemodal. Inilah akar permasalahan yang ditimbulkan dikemudian hari, ketika
kandidat yang menjadi pemenang kontestasi politik meraih kursi kekuasaan:
Membagi kue kekuasaan dengan pemodal. Partai politik menjadi alat ekonomi mesin
kapitalisme-liberal.
*
Kontestasi Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2019 telah usai setelah ditolaknya petitum dalam gugatan sengketa
Pilpres yang diajukan kubu 02 (pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Solehudin
Uno) di Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti kita ketahui bersama, putusan MK
tersirat menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf)
secara konstitusional adalah pemenang Pilpres 2019 sebagaimana yang diumumkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
MK bersandar pada mekanisme
keadilan prosedural, seberapa kuat dan valid sejumlah alat bukti dan fakta
hukum yang disodorkan Tim Kuasa Hukum 02 di persingan MK mampu mengubah hasil
perolehan suara Pilpres. MK tidak berani menempuh koridor mekanisme keadilan
subtantif.
The guradian of
justice hanyalah fatamorgana di tengah rasa keadilan yang semakin menjauh
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Aksi unjuk rasa pendukung 02 pada
tanggal 21-23 Mei 2019 yang akhirnya memakan korban, baik yang ditahan, terluka
parah dan juga meregang nyawa, kini seakan lenyap ditelan euforia pelantikan
kabinet Jokowi jilid 2. Media massa mainstream begitu gaduh mengekspos setiap
figur yang masuk dalam susunan kabinet Indonesia Maju. Tragedi demokrasi dan
kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dituntaskan oleh proses dunia
peradilan bahkan oknum dari pihak aparat keamanan yang bersikap represif, sama
sekali tidak tersentuh hukum, sesungguhnya akan menjadi kuburan politik dalam
lembaran sejarah rezim Jokowi dan langkah kuda Jenderal Baret Merah.
Lalu di manakah suara lantang
mantan Jenderal Baret Merah yang secara heroik berteriak, “Saya akan timbul
tenggelam bersama rakyat!”
Prabowo kembali dikalahkan oleh
rival politiknya untuk kesekian kalinya dalam setiap pertarungan politik yang
cukup keras. Padahal di Pilpres 2019 kemarin, dukungan rakyat yang merindukan
angin perubahan di tengah himpitan dan tekanan ekonomi, runtuhnya hukum dan
keadilan, begitu besar dan militan. Bahkan gerakan The Power of Emak-Emak
menjadi sebuah era kebangkitan politik yang menghentakkan kesadaran kolektif,
ini menjadi representasi sebuah kebangkitan baru dan perlawanan politik dari
kalangan kaum Hawa, khususnya kalangan Ibu rumah tangga yang merasakan langsung
dampak beban biaya hidup akibat ekonomi yang terpuruk.
Kini mantan Jenderal Baret Merah
itu menerima tawaran negosiasi; Rekonsiliasi yang dimulai di stasiun Moda Raya
Terpadu/Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta dan banyak ditentang oleh para pendukungnya ketika
tenaga, materi bahkan nyawa disumbangkan untuk perjuangan kemenangan
Prabowo-Sandi pada masa kampanye yang diwarnai suasana heroisme. Di mata
pendukung Prabowo, rekonsiliasi adalah ruang politik transaksional yang akan
menghancurkan misi utama perjuangan rakyat. Rakyat merindukan hadirnya Pemimpin
nasionalis, visioner, dan revolusioner, bukan badut atau boneka tanpa otoritas
yang hanya dikendalikan oleh syahwat politik ekonomi sekelompok bohir hitam.
Pelantikan Prabowo sebagai Menteri
Pertahanan (Menhan) sudah resmi dilaksanakan Presiden Jokowi. Pro-kontra
menghiasi time line di berbagai sosial media, artikel portal berita online,
termasuk dukungan dan cibiran mulai menjadi perang opini publik. Menurut yang
pro terhadap manuver oportunistik Prabowo, dengan masuknya Prabowo ke dalam
lingkaran kekuasaan, menjadi Menhan, Prabowo akan bisa merubah kebijakan dari
dalam. Sementara menurut yang kontra, Prabowo telah mengkhianati janji
politiknya. Prabowo telah meninggalkan gerbong amanat penderitaan rakyat dan
bersikap pragmatis demi kepentingan partai politik Gerindra dan tidak setia
kepada cita-cita besarnya sebagai seorang patriot sejati yang nasionalis.
Menjadi oposisi adalah posisi terhormat.
Tak ubanya kuburan politik, jejak
darah para korban yang terluka dan meregang nyawa pada masa kampanye yang gegap
gempita, berbagai peristiwa tragis kemanusiaan dan tindakan represif alat
kekuasaan menjadi senyap dalam ingatan sejarah yang mencekam.
*
Penulis teringat Maximus Decimus,
Jenderal perang yang humanis-revolusioner dalam film Gladiator. Maximus bukan
typikal patriot kompromistis ketika kepentingan negara dan rakyat terancam oleh
ambisi busuk kekuasaan putra mahkota Caesar dan manuver politisi oportunis.
Maximus lebih memilih menjadi martir demi kepentingan yang jauh lebih besar
daripada harus bersekutu dengan penindas dan antek-antek pengkhianat rakyat.
Legitimasi itu investasi tak
ternilai bagi siapapun yang bergerak demi kepentingan bangsa dan negara yang
jauh lebih besar. Legitimasi lahir dari kepercayaan rakyat. Namun langkah kuda
Jenderal Baret Merah menghadapi jalan persimpangan. Sejarah akan mencatat
apakah Prabowo akan tergerus oleh arus kekuasaan proxy ataukah kembali memilih
jalan pedang sebagai pejuang. (***)
Penulis adalah Lawyer & Entrepreneur.
0 Comments