![]() |
Gufroni: banyak pasal karet. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
NET – Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE) untuk kesekian kalinya memakan korban. Baru-baru ini seorang aktivis dan dosen sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet ditangkap Mabes Polri dengan sangkaan melanggar UU ITE. Meski kemudian dilepaskan kembali tapi statusnya sudah menjadi tersangka.
“Kebebasan berpendapat ternyata masih menjadi barang mewah di negeri ini,” ujar Wakil Direktur Yayasan Madrasah Anti Korupsi (MAK) Gufroni kepada wartawan, Jumat (8/3/2019).
Bila melihat video, kata Gufroni, yakni Robet menyampaikan orasi dengan diawali dengan bernyanyi lagu Mars ABRI yang digubah pada Aksi Kamisan ke-576 pada 28 Februari 2019 sesungguhnya Robet tidak ada maksud untuk menebar kebencian atau permusuhan.
Gufroni menjelaskan justru berisikan harapan agar Tentata Nasional Indonesia (TNI) tetap profesional sebagai lembaga pertahanan dan tidak duduk mengisi jabatan di pemerintahan. “Bahkan dari pihak TNI pun menyatakan bahwa apa yang disampaikan Robet adalah sebagai kritik untuk memperbaiki kualitas di tubuh TNI,” ucap Gufroni yang juga mantan aktivis mahasiswa 98.
Maka, imbuh Gifroni, sungguh tidak ada argumen yang kuat ketika Polri menjerat dengan Pasal 45 (2) Jo Pasal 28 (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2009 tentang ITE dan/atau Pasal 14 (2) Jo Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Jo Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Belakangan kemudian, kata Gufroni, karena tidak bisa dibuktikan UU ITE, Robet hanya dikenakan pasal 207 KUHP tentang permusuhan terhadap penguasa atau badan hukum diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan.
“Dalam hal ini UU ITE nyata-nyata pasal karet yang bisa diterapkan kepada siapa saja yang dianggap menebar kebencian dan permusuhan,” ujar Gufroni yang juga dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Menurut Gufroni, UU ini sangat subjektif dan itu menjadi alat yang ampuh bagi pihak kepolisian untuk dengan mudah men-tersangkakan pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pihak penguasa atau kelompok tertentu.
“Bahwa UU ITE itu inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum baik lisan maupun tulisan,” ucap Gufroni.
Juga ketika mengkritik pemerintah atau lembaga Negara, kata Gufroni, tidak lantas kemudian dijerat UU dan pasal 207 KUHP mengingat sudah ada putusan MK No. 013-02PUU-IV/2006.
“Maka dengan adanya kasus yang menimpa Robet semestinya menjadi momentum DPR (Dewan Perwakilan Rakyat-red) dan Pemerintah untuk mengkaji ulang UU yang penuh pasal karet ini. Masyarakat juga diharapkan ikut mendorong UU ITE ini untuk dicabut karena tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi,” ujar Gufroni berharap .
Maka demi untuk tidak menambah korban lebih banyak lagi, tandas Gufoni, UU ITE ini sudah mendesak untuk dicabut oleh DPR dan pemerintah saat ini, termasuk menghapus Pasal 207 KUHP tersebut di atas. Kalau tidak segera dicabut, maka situasi rezim saat ini tak jauh berbeda dengan zaman Soeharto berkuasa bahkan lebih refresif dan otoriter. (*/pur)
0 Comments