Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PRESIDEN TIDAK MEMAHAMI GRASI

RA Gan Gan: mulai merekam. 
(Foto: Istimewa/koleksi pribadi) 

Oleh:  Gan-Gan R.A*

BAIQ NURIL,  mantan pegawai honorer Tata Usaha SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi objek pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah tersebut, adalah korban atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas putusan bebas Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Pasal  yang menjerat Baiq Nuril adalah Undang-Undang Iformasi Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016. 

Baiq Nuril, setelah berkali-kali ditelepon oleh atasannya untuk diajak berkencan, merasa terancam. Kehormatannya sebagai perempuan runtuh, Nuril mulai dinistakan oleh berbagai bentuk ucapan verbalistik yang mengarah kepada bentuk pelecehan seksual. Di tengah rasa takut dan terhina, akal sehatnya bekerja, Nuril mulai merekam pembicaraan tersebut sebagai upaya untuk mengumpulkan alat bukti, jika suatu saat dirinya terdesak oleh teror verbal seksualitas yang dilakukan atasannya. 

Lalu, tragedi hukum pun terjadi. Nuril mulai melawan. Atas desakan sahabatnya, dia mengirimkan rekaman pembicaraan mesum tersebut kepada sahabatnya. Dari sinilah, interpretasi ambiguitas Pasal 27 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE memukul gong perang tafsir. Rekaman mesum dari atasannya mulai tersebar. Nuril diperkarakan oleh Pelaku teror verbal seksualitas. Tetapi putusan PN Mataram memenangkan Nuril. Di tingkat Kasasi, Nuril kalah dan keadilan tidak berpihak kepadanya. Nuril divonis bersalah, majelis hakim MA menjatuhkan vonis kurungan penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.

Nuril meradang, dia tidak menyerah dan tetap melawan ketidakadilan, lalu menulis sepucuk surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak pakar hukum pidana memberikan dukungan moril dan Lawyer sekaliber Hotman Paris bahkan siap membantu kasus Nuril. Tapi apa yang terjadi dengan statament Presiden ? Dengan menyontek teks, Presiden Jokowi berbicara normatif. Bukan berbicara tentang subtansi dan rasa keadilan serta empaty kemanusiaan. Lebih fatal lagi, Presiden Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI tidak memahami Grasi (sekalipun sudah melihat contekan teks). 

Grasi adalah salah satu dari 5 hak yang dimiliki Kepala Negara di bidang yudikatif, yakni grasi, amnesti, abolisi, remisi, dan rehabilitasi. Grasi merupakan hak Presiden dengan memberi pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana. Tetapi Presiden Jokowi lupa, bahwa grasi berlaku untuk terpidana, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, "Putusan pemidanaan yang dapat diajukan Grasi kepada Presiden adalah pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun."

Di tengah carut marut penegakan hukum di Republik ini, masihkah kita berharap keadilan akan tegak berdiri, sementara seorang Presiden dengan gagap berbicara di hadapan media massa, dengan melihat contekan teks, tetapi tidak memahami anatomi dunia hukum. 

Nuril, jangan menyerah dan tetap melawan ketidakadilan. Kamu adalah salah satu korban dari sekian banyak korban yang lahir dari sistem peradilan sesat !

Tangerang, 20 Novermber 2018.


Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.

Post a Comment

0 Comments