Syafril Elain Rajo Basa (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh: Syafril Elain Rajo Basa
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) sejak era reformasi berubah, semula
dipilih melalui sistem perwakilan yakni suara rakyat telah diwakilkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seusai dengan tingkatannya.
Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati
dan Wakil Bupati dipilih oleh DPRD Kabupaten. Begitu juga dengan tingkat kota,
Walikota dan Wakil Walikota dipilih oleh DPRD Kota.
Cara di atas diatur dalam
Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tata cara
mengenai pemilihan kepala daerah sesuai dengan tingkatnya diatur di dalam pasal
35 sampai dengan 40.
Namun, cara tersebut ditinggalkan karena dianggap wakil rakyat, yang
dipercaya dalam menentukan pimpinan daerah dalam lima tahun sekali itu tidak
selalu sejalan dengan keinginan rakyat. Bahkan di daerah tertentu, wakil rakyat
saat menentukan pilihannya dituding menerima “suap”.
Cara pemilihan dengan sistem perwakilan pun dianggap tidak sejalan dengan
cita-cita reformasi sehingga perlu diubah menjadi sistem pemilihan langsung. Kemudian
diubahlah dari UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Kini pemilihan kepala daerah mengacu ke UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati,
dan walikota menjadi Undang-Undang.
Dalam pemilihan langsung kepala daerah ini muncul
fenomena baru adanya calon tunggal dan pasangan calon tunggal kepala daerah
muncul sejak dilaksanakan Pilkada Serentak.
Munculnya calon tunggal baru terjadi pada masa pencalonan Pilkada
serentak tahun 2015 lalu, ada tujuh daerah memunculkan adanya calon tunggal
setelah ditutup tahapan pendaftaran calon.
Setelah KPU menempuh kebijakan memperpanjang
waktu pendaftaran serta kebijakan teknis pencalonan lainnya, masih ada tiga
daerah yang tetap menghasilkan calon
tunggal, yaitu Tasikmalaya (Jawa Barat), Blitar (Jawa Timur) dan Timor Tengah
Utara/TTU (NTT). Pelaksanaan Pilkada tiga daerah ini kemudian ditunda oleh KPU
hingga pelaksanaan Pilkada serentak berikutnya (tahun 2017) karena tidak adanya
dasar hukum yang mengakomodir Pilkada dengan calon tunggal.
Undang-Undang Pilkada nomor 8 tahun 2015 yang
menjadi payung hukum untuk Pilkada serentak tahun 2015 hanya mengatur ketentuan
Pilkada paling sedikit dengan dua
pasangan calon. Kemunculan calon tunggal pada masa pencalonan Pilkada serentak
2015 serta merta menjadi perhatian publik dengan beragam pendapat dan
pandangan.
Dengan kondisi seperti itu, ada tiga pihak yang
mengajukan permohonan untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
(MK) Jakarta terkait calon tunggal sebagai kelanjutan dari ketiadaan dasar
hukumnya. Pertama oleh Aprizaldi dan sekira 30 orang pemilih yang berdomisili
di Surabaya, Jawa Timur. Kedua oleh Whisnu Sakti Buana dan H. Syaifuddin Zuhri
dan ketiga Effendi Gozali dan Yayan Sakti Suryandaru.
Ketiga kelompok pemohon tersebut mengajukan
judicial review yang pada pokoknya menghendaki agar calon tunggal dapat
diberikan ruang pada Pilkada 2015. Pelaksanaan Pilkada pada tiga daerah
tersebut kemudian dilanjutkan setelah adanya putusan MK nomor 100/PUU-XIII/2015
yang memberikan ruang bagi pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal.
Dengan putusan MK tersebut, tiga daerah kembali
melanjutkan tahapan Pilkada hingga pemilihan dilakukan tanggal 09 Desember
2015. Hasil Pilkada pada tiga daerah tersebut secara umum sama, yaitu calon
tunggal mendapat suara mayoritas disetujui oleh pemilih. Pasangan calon
Rijanto-Marhaenis (Rido) di Blitar mendapat suara setuju sebanyak 74 persen,
pasangan calon Raymundus Fernandez-Aloysius di TTU mendapat suara setuju
sebanyak 79 persen dan pasangan calon Uu Ruzhanul Ulum-Ade Sugianto mendapat
suara setuju sebanyak 67 persen. Dengan hasil Pilkada tersebut, kesemua calon
tunggal mendapat suara lebih dari 50 persen suara sah, ketiganya menjadi calon
terpilih pada pilkada serentak 2015.
Dalam UU tersebut pada pasal 54C diatur tentang
ada kolom kosong atau kotak pada kertas suara selain pasangan calon tunggal.
Pasal ayat (2) berbunyi sebagai berikut:
Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat
suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat
foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
(3) Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Dari bunyi pasal dan ayat tersebut di atas,
masyarakat memaknai bahwa kolom kosong atau kotak kosong punya hak yang sama
untuk dipilih dan tidak dipilih. Di Provinsi Banten dari empat kabupaten dan
kota yang melaksanakan Pilkada, ada tiga daerah menghasilkan calon tunggal
yakni Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang.
Semangat berdemokrasi dari masyarakat muncul dan
tidak setuju dengan adanya calon pasangan tunggal. Di Kabupaten Tangerang
muncul sekelompok masyarakat yang mendeklarasikan diri sebagai Aliansi Kotak
Kosong (AKK). Mereka membentuk AKK karena tidak setuju dengan muncul hanya
calon tunggal dari 12 partai poltik yang ada di Kabupaten Tangerang.
Sementara di Kota Tangerang juga punya pasangan
calon tunggal gerakan membentuk aliansi sejenis belum terlihat. Ada pun gerakan
untuk mencoblos kotak kosong atau kolom kosong muncul secara terpisah, parsial
yakni antara satu kecamatan dengan kecamatan dan antara satu kelurahan dengan
kelurahan lain serta antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Dari uraian di atas, kolom kosong atau kotak
kosong menjadi suatu alternatif pilihan bagi rakyat untuk tidak memilih calon
yang ada. Meskipun dalam Peratuan KPU No. 4 tahun 2017 tentang Kampanye
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota, tidak mengatur tata cara masyarakat melaksanakan kampanye
kotak kosong.
Dalam peraturan tersebut, memang tidak diatur
soal kampanye kotak kosong atau kolom kosong yang dilakukan warga sebagai yang punya hak pilih. Hal ini bisa dipahami
karena untuk melakukan suatu kampanye diperlukan sejumlah syarat mulai
penggunaan alat peraga kampanye (APK), tempat atau lokasi kampanye, dan penanggung
jawab kampanye. Syarat lainnya, kampanye dilaksanakan oleh partai politik
pengusung, tim kampanye, dan pasangan calon.
Meskipun sudah ada peraturan KPU yang mengatur
tentang kampanye tapi tidak ada aturan yang mengatur bagaimana masyarakat
berkampanye tentang kotak kosong atau kolom kosong bukan suatu hal terlarang
melakukan kampanye. Ketua KPU Banten H. Agus Supriyatna mengatakan dengan adanya
kekosongan hukum agar KPU yang ada di Banten terutama yang menghasilkan calon
pasangan tunggal mengajukan usul kepada KPU RI untuk mengatur kampanye tentang
kolom kosong atau kotak kosong.
Namun, imbau dari Ketua KPU Banten tersebut belum
ada tindak lanjut sehingga sampai sekarang apa dan bagaimana masyarakat yang
ingin berkampanye kotak kosong atau kolom kosong belum punya payung hukum
(tangerangnet.com: Ketua KPU Banten: Surat Suara Calon Tunggal, Wajib Ada Ruang Kotak
Kosong).
Penulis berpendapat, sah-sah saja masyarakat
melakukan kampanye kotak kosong atau kolom kosong sepanjang tidak melanggar
peraturan yang ada.
Misalnya, kampanye tidak dilakukan di rumah
ibadah, gedung atau kantor Pemerintah, dan di lembaga pendidikan. Apalagi
kampanye untuk memilih kotak kosong atau kolom kosong dari mulut ke mulut. Yang
paling penting, saat melakukan kampanye kotak kosong atau kolom kosong tidak
menjurus kepada perbuatan pidana umum seperti menghina pihak lain.
Sebab, kolom kosong atau kotak kosong lahir dari
Pilkada serentak yang bukan dari keinginan rakyat tapi akibat dari partai
politik yang tidak berani memunculkan calon lebih dari satu pasang. Rakyat
sebagai pemegang hak kedaulatan demokrasi harus diberi ruang untuk ikut
berpartisipasi dalam menentukan kepala daerah lima tahun ke depan. Kolom kosong atau
kotak kosong adalah Anak Kandung dari Pilkada Serentak.
Ingat, keikutsertaan masyarakat dalam berkampanye
kotak kosong atau kolom kosong ikut mendongkrak partisipasi pemiih dalam
Pilkada 2018 serentak. Kalau masyarakat sebagai pemilik hak suara dibatasi atau
bahkan dilarang-dilarang untuk berpartisipasi, hampir dipastikan tingkat
partisipasi pemilih akan rendah dan bahkan sangat rendah. ***
Penulis adalah:
Ketua Panwaslu Kota Tangerang 2008-2009.
Ketua KPU Kota Tangerang 2009-2013.
0 Comments