Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pilkada DKI 2017, Semoga Bukan Drama

Dodi Prasetya Azhari
(Foto: koleksi pribadi)   
Oleh Dodi Prasetya Azhari, SH  

SANGAT  menarik sekali memperhatikan konstestasi Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Istimewa  (Pilgub DKI) Jakarta  2017 mendatang. Pilgub DKI Jakarta sejak dulu memang selalu menjadi Perhatian Khusus masyarakat luas. Jakarta adalah Kepala Naganya Indonesia dan Jakarta juga dianggap sebagai Etalase Indonesia sehingga siapa pun yang memimpin Jakarta  secara individu berpeluang untuk menjadi Sejarah Tokoh Nasional.

Orang bilang politik adalah seni 'kemungkinan'.  Akan ada banyak kejutan yang hadir di sepanjang jalan yang dilewati. Termasuk dalam sehari terakhir, tiba-tiba muncul nama yang sebelumnya tidak banyak disebut dan digadang-gadang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono telah menjadi salah satu kejutan yang mungkin masih ada kejutan yang tersembunyi lainnya.

Keputusan Poros Cikeas (Partai Demokrat,Partai Amanat Nasional,Partai Kebangkitan Bangsa ,Partai Persatuan Pembangunan)  tampaknya lebih berorientasi pada target proses jangka panjang. Kehadiran Agus Harimurti Yudhoyono dalam Pilkada DKI tahun ini boleh jadi karena ibukota dianggap sebagai barometer politik nasional. Momen pemilihan pada 2012 yang melahirkan Joko Widodo sebagai Gubernur lalu secara mulus melompat menjadi Presiden membuat partai-partai politik melihat Pilkada DKI sebagai sarana lompatan target yang cukup baik.

Namun melihat situasi yang tercipta, sepertinya fakta positif yang memiliki peluang cukup besar terletak pada pasangan Ahok-Jarot, beberapa hal yang memperkuat di antaranya pasangan ini memiliki modal mesin politik yang cukup besar dengan dukungan 4 partai dan relawan nya. Begitu juga dengan kekuatan modal finansial yang sangat besar. Hal ini didukung karena posisi figur Ahok yang cenderung dikenal sebagai gubernur yang cukup dekat dengan pengusaha atau pemilik modal yang kebetulan mayoritas beretnis China. Fakta berikutnya kekuatan dari pasangan ini juga terlihat pada modal dukungan media mainstream yang sering memberitakan sisi positif Ahok.

Pilkada DKI 2017 adalah cermin dari bagaimana  calon pemimpin bersih bisa berhasil menang dari calon pemimpin yang tidak (belum diketahui) bersih. Masyarakat sangat ingin melihat fenomena Pilgub DKI 2012 terulang lagi dimana Jokowi yang dianggap sebagai sosok pemimpin bersih berhasil menumbangkan Foke (Fauzi Bowo-red)  yang belum dipastikan bersih tetapi didukung mayoritas Parpol yang cenderung dianggap korup oleh masyarakat.

Point-poin tersebut di atas itulah yang menyebabkan kalkulasi politik untuk Pilgub DKI 2017 (meskipun belum tentu benar), sudah dipastikan oleh hampir seluruh kalangan bahwa yang sanggup berduel dengan Ahok adalah pemimpin yang sudah dikenal bersih.

Pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta semakin memanas, banyak asumsi dan opini yang bisa dibangun sebagai bagian dari propaganda. Seperti munculnya nama Anies Baswedan yang secara tiba-tiba hadir dicalonkan sebagai cagub bersama Sandiaga Uno oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Apakah kehadiran Anies merupakan rekayasa agar tidak terciptanya duet Yusril - Sandiaga yang sebenarnya punya peluang lebih besar?  Apalagi bila melihat peristiwa dalam proses pilpres 2014 kemarin bukankah Anies merupakan Juru bicara dari pasangan Jokowi-Kalla yang berhadapan dengan Gerindra yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta. Lantas apakah pasangan ini akan memperoleh kemenangan, dan unggul dalam satu putaran?

Lalu faktor lainnya yang bisa jadi perhitungan dan analisa bahwa bisa saja pasangan yang di ujung koalisi Cikeas adalah sekadar pasangan boneka. Karena kehadiran pasangan Agus-Syilvi patut diwaspadai apakah memang hadir dengan target memenangkan Pilkada DKI atau ternyata kehadiran pasangan ini tidak dimaksudkan untuk menang dalam Pilkada DKI. Kemungkinan pasangan ini dimajukan untuk memecah suara pemilih pasangan yang memang di ujung oleh partai Gerindra dan PKS yang  faktanya sampai hari ini dua  partai ini masih komitmen menjadi bagian oposisi dari pemerintahan nasional saat ini.

Apabila benar 'kemungkinan' itu maka ada potensi bagi pasangan Ahok-Djarot untuk menang satu putaran. Atau apabila pada prosesnya nanti Pilkada DKI kemungkinan akan terjadi dua putaran dan pada putaran kedua persaingannya akan semakin ketat dan cenderung panas. Penentu putaran kedua adalah sikap partai politik yang kalah pada putaran pertama. Sikap politik partai inilah yang cukup signifikan menentukan pada putaran kedua dengan tanpa mengenyampingkan bekerjanya mesin politik dan pesona kandidat.

Di putaran kedua nanti, kemungkinan ada potensi tiga partai Islam yang tergabung dalam Koalisi Cikeas akan merapat ke koalisi Ahok-Djarot. Dengan begitu, peta politik lokal mencerminkan peta koalisi nasional. Tiga partai di oposisi, sementara yang lain berada di posisi Ahok-Djarot yang dipandang sebagai pasangan pilihan Jokowi.



Penulis :
Dodi Prasetya Azhari, SH

Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)

Post a Comment

0 Comments