Oleh Teddy
Gusnaidi
Membaca ada pihak yang melakukan Judicial
Review pasal 158 Undang-Undang
Republik Indonesia (UU RI) No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait pembatasan jenis
laporan pelanggaran.
Membaca ada petisi-petisi penolakan pasal 158
UU No.1 Tahun 2015, terkait pembatasan angka-angka sengketa Pilkada.
Mereka semua menyatakan bahwa tidak adil jika
pelanggaran Pilkada
yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tidak ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Permohonan gugatan Pilkada yang masuk ke MK
lebih dari 50 persen. Dan mayoritas masalahnya adalah TSM. Inilah kenapa ada petisi dan uji
materi pasal.
Terjadi petisi dan uji materi ini dikarenakan
opini yang dikembangkan oleh para pelaku kecurangan yang tidak ingin MK tangani
masalah TSM.
Mereka gunakan para pihak untuk menyuarakan di media sehingga
membentuk opini untuk menekan MK. Pasal 158 mereka suarakan untuk pembenaran.
Dan konyolnya, hakim MK ikut-ikutan mulai terpengaruh dengan
suara-suara pesanan itu. Hakim MK kok bisa termakan opini? Ngawur aja.
Silahkan hakim MK untuk membaca terkait
kewenangan mereka yang diperintahkan oleh UU.
Para pihak yang membuat petisi dan melakukan uji materi juga termakan
dengan suara pesanan itu. Seharusnya tidak perlu mereka lakukan itu.
Kenapa? Karena di UU No.8 Tahun 2015 itu sudah
mengatur bahwa MK WAJIB menangani pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif
!
Jadi ngapain harus petisi-petisian dan
melakukan Uji Materi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015? Pasal di dalam jelas
mengakomodir TSM kok.
MK memang hanya diberikan kewenangan untuk
tangani perkara penetapan hasil penghitungan suara sesuai pasal 158. Sampai ada detail
angkanya juga di pasal tersebut.
Lalu kalau cuma itu kewenangan MK, kenapa saya
katakan soal TSM juga wajib diperiksa dan diadili oleh MK? Pasti bingung kan?
Pasal 156 adalah pasal perselisihan hasil
pemilihan, beda dengan perselisihan penghitungan suara di pasal 158, kalau
perselisihan hasil pemilihan ini ditangani oleh badan peradilan khusus.
Lebih dari 50 persen pasangan calon (Paslon) kepala daerah mengugat
hasil pemilihan karena terjadi dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis
dan masif (TSM). Artinya, TSM ini digugat ke Peradilan Khusus sesuai perintah pasal 156.
Tapi kenapa sekarang gugatan pelanggaran TSM
malah ke MK? Kenapa tidak ke badan Peradilan Khusus? Diperiksa dan diadili di sana?
Ternyata badan Peradilan Khusus itu belum dibentuk,
dan sesuai perintah pasal 157 ayat 3, jika belum dibentuk maka ditangani oleh
MK.
Artinya apa? Artinya soal TSM sekarang ini
menjadi kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadili. Karena badan Peradilan Khusus belum dibentuk
sampai sekarang dan itu perintah UU!
Sudah sangat jelas sekalikan? Jadi tidak perlu
ada uji
materi dan petisi-petisian. Karena tidak boleh MK menolak "kasus jenis" TSM.
Para corong pesanan pelaku kecurangan,
berhentilah menipu di media, karena kalian memanipulasi dan menyebarkan opini yang bisa
menyesatkan.
Jadi polemik terkait apakah MK menangani
gugatan yang TSM atau tidak sudah terjawab, bahwa MK wajib memeriksa dan
mengadili "kasus" TSM.
Terima kasih, semoga bermanfaat bagi para
calon kepala daerah yang mengajukan gugatan ke MK.
Penulis adalah Pengamat
Sosial dan Politik.
0 Comments