![]() |
Oleh Dodi Prasetya
Azhari, SH
Pilkada Kota Tangerang Selatan
(Tangsel) yang sedianya akan menemui titik final yakni
di mana suara terkumpul untuk para masing-masing pasangan
calon tanggal 9 Desember nanti. Namun faktanya momentum Pilkada yang
seharusnya menjadi "pesta" bagi rakyat untuk mengenal demokrasi dan
berjuang untuk menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan kesejahteraan dan
kepentingan rakyat pada umumnya, kini terasa ’ada’ namun seperti ’tiada’.
Apa maksudnya?
Sosialisasi yang seharusnya diberikan Pemerintah, dalam hal
ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang
Selatan, serasa miskin bahkan tidak ada. Entah mungkin karena Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2015 tentang
perubahan atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Dalam UU tersebut
secara tak langsung telah mengatur bahkan cenderung membatasi banyak hal mengesankan
terlalu ketat aturan yang ada. Peraturan tersebut melarang
kampanye Pilkada dengan cara melakukan konvoi atau
pawai di jalan. Peraturan KPU itu juga mengatur setidaknya empat sarana kampanye pasangan calon
kepala daerah yang dibiayai oleh negara dan diadakan serta diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi/kabupaten.
Keempat sarana
kampanye tersebut adalah pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan
kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon
kepala daerah. Aturan itu membuat Pilkada di Tangerang Selatan tahun ini jauh
dari meriah dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya.
Ketatnya aturan
ini juga membuat uang yang biasa berputar kencang tiap Pilkada kini jadi melambat. Bagi banyak konsultan politik, lembaga
riset, media massa, dan koordinator pengerahan massa, momentum Pilkada kali ini bukanlah pesta panen.
Terhadap Pilkada,
peraturan itu sebenarnya tidak terlalu ketat, tetapi tidak juga terlalu
terikat. Kalau terlalu ketat maka seperti sekarang ini, sunyi senyap. Kalau
terlalu bebas maka bisa jadi kebablasan. Pesta demokrasi itu
harus dinamis, rakyat yang berpesta. Sementara itu yang terjadi malah sebaliknya.
Dampaknya juga dinamis, ekonomi mikro juga tidak bergeliat.
Oleh karena
faktor tersebut maka upaya gencar seharusnya dilakukan KPU dengan semangat yang
tanpa putus. Sebab, berbagai kebutuhan untuk menunjang sosialisasi tersebut
telah dimiliki KPU Tangerang Selatan, baik dari sisi anggaran, fasilitas, dan media. Namun, faktanya menjadikan KPU kurang ’greget’
mensosialisasikan Pilkada kepada masyarakat Tangsel. Hanya masyarakat tertentu
saja yang diguyur dengan sosialisasi. *
Penulis: Ketua Umum
Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)
Tinggal di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan
0 Comments