Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketua MPR Ajak Ikatan Mahasiswa Magister Hukum UI, Kaji Efektivitas Pemilu Dan Pilkada Serentak

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ketika 
menerima sejumlah pengurus IMMH. 
(Foto: Istimewa) 

  

NET - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak para mahasiswa magister ilmu hukum yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMH UI) terlibat untuk mengkaji sejauh mana efektivitas penerapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dalam kehidupan Demokrasi Pancasila. Termasuk mengkaji langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk semakin menekan money politic dan high cost politic dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) serentak.

“Mekanisme Pilkada dan Pileg berbeda dengan Pemilihan Presiden,” ujar Bambang Soesatyo (Bamsoet) usai menerima IMMH UI, di Jakarta, Rabu (12/10/2022).

Oleh konstitusi, kata Bamsoet, diamanatkan agar dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal 6A ayat (1) bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Untuk PIlkada, amanat konstitusi dalam pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

"Sedangkan untuk Pileg, konstitusi mengamanatkan dalam pasal 19 ayat (1) bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum,” tutur Bamsoet.

Bamsoet mengatakan IMMH UI dan berbagai kelompok akademisi lainnya bisa mengkaji tafsir terhadap konstitusi tersebut, apakah bisa mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD ataupun Pileg dengan sistem tertutup seperti dahulu, sehingga dapat meminimalisir terjadinya korupsi, money politic, dan high cost politic.

“Dengan demikian bisa menyelamatkan Demokrasi Pancasila kita agar tidak terjebak dalam demokrasi angka-angka, yang menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, dan berujung kepada oligarki," ujar Bamsoet.

Pengurus IMMH UI yang hadir antara lain, Ketua Umum Muhammad Nur Isra, Wakil Ketua Muyassar Nugroho, Kepala Bidang Kajian Strategis dan Advokasi M Faiz Putra Syanel, Kepala Bidang Minat dan Bakat Fero Frets, Wakil Sekretaris Umum Sari Ramadhanti, Sekbid Minat dan Bakat Retno Astuti, dan Staff Bidang Pengabdian Masyarakat Raras Nadifah.

Ketua DPR RI ke-20 itu menjelaskan IMMH UI dan para kelompok akademisi lainnya bisa terlibat untuk mengkaji pilihan bentuk hukum yang ideal bagi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Fraksi dan Kelompok DPD di MPR RI saat ini sudah memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya menghadirkan PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan, untuk memastikan kesinambungan pembangunan dari satu periode pemerintahan ke periode penggantinya. Sekaligus menjamin keselarasan antara pembangunan daerah dengan pusat, serta antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.

"Badan Pengkajian MPR RI telah memberikan rekomendasi tiga pilihan bentuk hukum yang ideal bagi PPHN. Yakni diatur secara langsung dalam konstitusi, diatur melalui Ketetapan MPR RI, atau diatur melalui undang-undang,” ucapnya.

Pilihan bentuk hukum mana yang akan diambil, kata Bamsoet, nanti akan diusulkan oleh Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk dalam Sidang Paripurna MPR RI. Masyarakat melalui berbagai kelompok akademisi seperti IMMH UI bisa membantu MPR RI dengan memberikan masukan.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar menerangkan sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah menyiapkan haluan negara yang dikenal Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB), yang dirumuskan sekitar tahun 1959 dan dijalankan mulai tahun 1961. PNSB disusun lebih dari 500 pakar dan ahli dari berbagai bidang, sehingga mampu menggambarkan berbagai capaian yang ingin diraih Indonesia hingga puluhan tahun pasca kemerdekaan. Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, bangsa Indonesia memiliki Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Namun sejak reformasi, haluan negara justru dihapuskan. Akibatnya, kita kini seperti kehilangan arah dalam menentukan prioritas pembangunan, sekaligus tidak adanya jaminan keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan dari satu periode pemerintahan ke periode penggantinya. Serta tidak adanya keselarasan antara pembangunan pusat dengan daerah, serta satu daerah dengan daerah disekitarnya," pungkas Bamsoet. (*/pur)

Post a Comment

0 Comments