Presiden Jokko Widodo. (Foto: Istimewa) |
KEPADA warga yang tidak bisa mudik, Presiden Jokowi
mengimbau mereka untuk memesan masakan khas asal daerah mereka untuk merayakan
Lebaran, 13 Mei 2021. Jokowi lalu menyebut gudeg Yogja, bandeng Semarang,
siomay Bandung, pempek Palembang, dan bipang Ambawang dari Kalimantan.
"Tinggal pesan. Dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah,"
ujar Jokowi.
Bipang Ambawang adalah kuliner terkenal dan andalan dari
Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kuliner ini
menyajikan babi yang dipanggang sedemikian rupa sehingga menghasilkan tekstur
daging yang khas dan kering.
Bukan sedikit anggota masyarakat yang menyesalkan pernyataan
Jokowi mengenai babi panggang itu. “Merayakan Hari Raya Kemenangan Umat Islam
(Lebaran) dengan menyajikan hidangan menu BIPANG Babi Panggang Ambawang. Kui
Islam cap opo Pak kalau boleh tahu?” tulis pemilik akun Twitter @yo2thok.
“Lebaran ngendorse babi panggang. Kacau yang bikin
scriptnya,” tulis @panca66. “Mungkin bagian dr Test Wawasan Kebangsaan? Siapa
yg tidak pesan online Bipang, dianggap radikal radikul dan intoleran. Iya Gak
Sih?” tulis @DonAdam68.
Begitulah kalau pejabat berbicara tidak cermat. Bikin heboh.
Orang-orang berkomentar macam-macam. Yang membela Jokowi bilang, itu mungkin
karena "slip of the tongue." Atau mungkin kesebut nggak sadar.
Seperti ngomongin makanan-makanan enak kesebut pepes, tulis yang lainnya.
"Otomatis kesebut."
Di zaman medsos, pejabat itu seperti berada di akuarium. Apa
yang mereka ucapkan atau kerjakan terlihat jelas sekali. Mestinya mereka harus
ekstra hati-hati. Tidak asal ngomong. Mereka tidak bisa menyalahkan wartawan
seperti dulu, yang dianggap "memelintir" ucapan mereka. Kini, jejak
digital pejabat ada di mana-mana. Mustahil dihapus.
Tak jelas apa mereka pernah mendengar nasehat ini,
"Alangkah bijaknya diam jika bicaramu menimbulkan kegaduhan." Atau
yang berikut, "Sekiranya perkataanmu menimbulkan keributan, lebih baik kamu
diam." Sekarang "kehebohan" sudah terjadi. Tidak bagus untuk
kehidupan berbangsa kita. Energi kita terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak
berguna.
Perlu dicamkan, "hanya satu kalimat lewat mulut"
bisa menimbulkan perbedaan sangat besar. Contoh: dengan mengucapkan kalimat
syahadat, maka seseorang menjadi muslimin/muslimah, bukan kafir lagi. Bedanya
sangat besar antara muslim dan kafir, dengan segala konsekuensinya. Itu akan
terbawa sampai ke liang kubur, ke akhirat. Bukan cuma di dunia: masuk surga atau
kekal disiksa di neraka.
Rasulullah SAW sudah mengingatkan sekian abad lalu,
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
berkata baik atau hendaklah diam." Lebih banyak diam atau menjadi
pendengar yang baik (tidak sering memotong ucapan orang lain) juga bukan
perkara mudah. Satrawan terkenal Ernest Hemmingway sampai bilang, "Anak
perlu waktu 2 tahun untuk belajar bicara, tapi orang perlu 50 tahun untuk
belajar diam."
Kapan kita harus diam dan kapan harus bicara? Seorang ulama
memberi nasihat, "Jika diammu membuat engkau bangga, maka bicaralah. Jika
bicaramu membuat engkau bangga, maka diamlah." Banyak orang, termasuk
anggota DPR, ngomong berlama-lama sampai ngelantur. Yang mendengar sudah muak,
karena tidak tahu kapan dia harus berhenti.
Balik ke soal Jokowi anjurkan pesan babi panggang Ambawang.
Mereka yang spontan merespon tersebut tentu tahu Jokowi beragama Islam sejak
kecil. Dia pasti tahu babi itu haram: babi panggang, babi goreng, sate babi.
Mereka sulit menerima alasan Jokowi "keseleo lidahnya". Apa Presiden
tidak tahu kepanjangan bipang (babi panggang)? Sekilas mirip jipang.
Mereka juga tak mudah menerima argumen bahwa mudik bukan
tradisi orang Islam saja. Umat lain juga begitu. Tapi yang pasti, Jokowi kali
ini berbicara dalam konteks mudik untuk merayakan Lebaran Idhul Fitri. Hari Raya
umat Islam.
Jika disadari pesan babi panggang Ambawang itu kesalahan,
sangat terhormat jika Jokowi minta maaf. Itu mudah dilakukan, dan persoalan
akan selesai. Masyarakat pun juga perlu menahan diri. Stop berkomentar. Tidak
perlu menuntut macam-macam. Toh siapa pun, tak terkecuali Presiden, bisa
berbuat salah. Meskipun beda dampaknya antara kesalahan lurah dan Presiden. (***)
Penulis adalah pemerhati masalah social.
0 Comments