Syafri Elain: Kotak Kosong, gerakan di bawah permukaan. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Oleh: Syafril Elain
SEJARAH BARU bagi Provinsi Banten dalam melaksanakan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 serentak karena hanya Kota Serang yang
memiliki pasangan calon kepala daerah
lebih dari satu pasang. Sementara tiga daerah lainnya yakni Kabupaten Lebak,
Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengesahkan satu pasangan calon, lebih dikenal sebagai calon tunggal.
Lantas apa masalah kalau calon tunggal? Bagi pasangan calon
kepala daerah yang tunggal tentu asyik asyik saja. Tantangan untuk berkompetisi
untuk meraih kemenangan menjadi berkurang karena tidak ada pesaing dan tidak ada
pula lawan.
Tim Kampanye yang diajukan saat mendaftarkan pasangan calon
kepala daerah oleh partai politik ke KPU masing-masing daerah pun belum sempat
bergerak sempurna. Begitu juga tim jaringan diluar jalur partai politik sepertinya
santai santai saja.
Hal itu bisa terlihat saat mulai KPU masing-masing daerah
melaksanakan Kampanye Damai, partai politik pengusung tidak maksimal
mengerahkan kader dan simpatisanya untuk datang hadir. Bahkan ada partai
politik pengusung tidak mengirim sama sekali kader dan simpatisannya untuk
memeriahkan tanda dimulainya pesta demokrasi tingkat daerah itu.
Ada anggapan dari pengurus partai politik dan kadernya,
tidak perlu bersusah payah untuk mengerahkan semua kekuatan pada saat kampanye
damai dan kampanye terjadwal, pasangan calon tunggal pasti menang. Oleh karena
itu, buat apa kader dan simpatisan harus datang berbondong-bondong ke arena
kampanye.
Dari tiga daerah yakni Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang,
dan Kota Tangerang, yang muncul ke permukaan sebagai lawan tanding pasangan
calon tunggal adalah Kolom Kosong atau Kotak Kosong. Dari publikasi yang
tersebar ada Aliansi Kota Kosong (AKK) di Kabupaten Tangerang dengan 29
kecamatan terwakili dan ada pula Jaringan Kotak Kosong (JKK) di Kota Tangerang
dengan 13 kecamatan terwakili. Penulis belum mendengar dan membaca informasi
gerakan sejenis ada Kabupaten Lebak.
Baik AKK maupun JKK muncul ke permukaan setelah sejumlah
warga merasa prihatin dengan kondisi yang ada yakni partai politik yang
diharapkan melahirkan pimpinan derah tidak punya keberanian memunculkan
kadernya merebut kekuasaan tingkat lokal.
Penggagas AKK adan JKK menilai partai politik yang ada di
Provinsi Banten tidak punya nyali merebutkan kekuasan dengan perhitungan untung
rugi. Kalau partai politik lebih menitik-beratkan untung rugi, ubah saja maksud
dan tujuan partai politik didirikan menjadi mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Bukan lagi mencerdaskan bangsa dan mecetak serta melahirkan
pemimpin demi kemajuan bangsa dan negara.
Lima tahun lalu saat Pilkada 2013 dilaksanakan di Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang, pasangan calon kepala daerah lebih dari satu. Kota
Tangerang ada lima pasang calon dan di KPU Kabupaten Tangerang meloloskan pasang
calon kepala daerah.
Dengan jumlah pasangan calon kepala daerah lebih dari satu
pasang, semangat kompetisi pun bergairah. Saling intip strategi, saling
unggulkan program, dan bahkan saling lapor terhadap kecurigaan dilakukan oleh
perilaku curang demi meraih kemenangan.
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) masing-masing daerah pun
sibuk menerima pengaduan untuk memproses apakah ada dugaan pelanggaran pidana
atau administrative dilakukan oleh masing-masing tim kampanye dan
simpatisannya.
Lantas apakah Pilkada yang dilaksanakan di kabupaten dan
kota dengan pasang calon tunggal akan menang? Tentu mereka yakin akan menang dengan
kepercayaan penuh 99,99 persen.
Namun, mari kita lihat pada Pilkada lima tahun lalu di
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang ada gerakan perlawanan AKK dan JKK.
Di Kabupaten Tangerang, lima tahun tahun lau Zaki Ahmed
Iskandar ketika berpasangan dengan Hermansyah mampu menyingkirkan tiga pasangan
lainnya.
Perolehan suaranya sebagai berikut nomor urut 1 pasangan
calon Ahmad Subadri-M Aufar Sadat meraih 113.379 suara (10,49 persen). Nomor
urut 2, Ahmed Zaki Iskandar-Hermansyah 599.478 suara (55,46 persen). Nomor urut
3, Aden Abdul Khaliq-Suryana 148.178 suara (13,71 persen). Sedangkan nomor urut
4, Achmad Suwandhi-Muhlis mendapat 219.846 suara (20,34 persen).
Adapun total suara yang sah 1.080.881 suara, sedangkan surat
suara yang tidak sah 31.409 suara dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) 1.951.387
pemilih.
Berkaca dari angka di atas sepertinya Zaki Ahmed Iskandar
yang kini berpasangan dengan Romli diusung oleh sebelas partai politik telihat
aman-aman saja. Tiga pasangan calon saja bisa dikalahkan, apalagi tanpa lawan. Sebab perolehan suaranya, 599.478 suara atau
55,46 persen atau lebih dari 50 persen. Angka ambang batas kemenangan bagi
pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak.
Namun berbeda apa yang terjadi di Kota Tangerang pada lima
tahun lalu yang memiliki lima pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota
Tangerang. Pada lima tahun lalu Arief Rachadiono Wismansyah yang berpasangan dengan
Sachrudin perolehan suara dibawah 50 persen yakni 340.810 suara atau 48,04
persen.
Perolehan suara kelima
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang sebagai berikut; nomor
urut 1 Harry Mulya Zein-Iskandar dengan 45.627 suara atau 5,69 persen. Pasangan
Dedi “Miing” Gumelar dan Suratno Abubakar 121.375 suara atau 17, 54 persen,
pasangan nomor urut 2 Abdul Syukur-Hilmi Fuad dengan 187.003 suara atau 26,74
persen, pasangan Achmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto 15.060 suara atau 1,99
persen dan pasangan nomor urut 5 Arief R Wismansyah-Sachrudin dengan 340.810
suara 48,04 persen.
Kini Arief R. Wismansyah tetap berpasangan dengan Sachrudin
sebagai Wakil Walikota Tangerang diusung oleh sepuluh partai politik. Akankah
perolehan saranya sama dengan lima tahun lima atau melonjak melampaui 50
persen?
Kondisi lima tahun lalu tentu sangat berbeda dengan sekarang
baik di Kabupaten Tangerang maupun di Kota Tangerang. Penggagas AKK dan JKK
merasa yakin akan banyak warga akan mengikuti langkah mereka yakni mencoblos
kotak kosong atau kolom kosong pada 27 Juni 2018. Dalih mereka, pasangan calon
tunggal pada penyelenggaraan Pilkada bukanlah suatu demokrasi yang sehat bahkan
dinilai sakit dan untuk mengobati demokrasi yang sakit harus dilawan dengan
mencoblos kotak kosong atau kolom kosong.
Namun sejauh mana gerakan perlawanan untuk mencoblos kotak
kosong? Belum ada suatu data yang diungkapkan ke publik, berapa persen warga
bersimpati dengan gerakan AKK dan JKK lantas mereka akan mencoblos kotak
kosong.
Sementara pasangan calon tunggal pun ngeri-ngeri sedap
karena dibilang tidak ada lawan tapi gerakan untuk mencoblos kotak kosong hidup
dibawah permukaan. Dalam suatu pertarungan
lebih enak dan mudah menghitung kemenangan ketika ada lawan tanding.
Kini berpulang kepada warga Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang apakah Pilkada 2018 serentak ini suatu proses demokrasi yang sehat
atau sakit untuk memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan? Kalau warga merasa
ini suatu proses demokrasi yang sehat pilihlah calon tunggal namun kalau ini
proses demokrasi yang sakit, pilih kolom kosong atau kotak kosong.
Bagi pasangan calon tunggal yang ada di Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang, bisa saja kehadiran gerakan kotak kosong menjadi dag..dig..dug,
kemenangan diraih atau kemenangan yang terbang dibawa kolom kosong. Kita tunggu
hasil pencoblosan pada 27 Juni 2018 mendatang.
***
0 Comments