Serikat Pekerja JICT: menyatukan kekuatan. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET - Pelindo II
beruaha memperpanjang konsesi Jakarta
International Container Terminal (JICT) dengan perusahaan Hong Kong Hutchison
Port Holdinga (HPH) menjadi hampir setengah abad (1999-2039). Namun penjajahan
modern ini menimbulkan banyak pertanyaan apa sebetulnya urgensi perpanjangan
JICT jilid II (2019-2039).
Ketua Umum Serikat
Pekerja (SP) JICT Nova Sofyan Hakim
mengatakan perjualan aset nasional yang sangat strategis menjadi permasalahan
tak berkesudahan bangsa Indonesia. "Tengok Freeport, Inalum, Blok Mahakam
bahkan yang terbaru perpanjangan konsesi JICT," ungkap Nova Sofyan, Selasa
(29/9/2015), di kantor PT JICT, Jakarta.
Sementara itu, Dirut
Pelindo II RJ Lino seharusnya menempatkan kepentingan nasional sebesar-besarnya
dalam mengambil keputusan strategis. Lanjut, Nova, bukan malah bagi-bagi untung
dengan Hong Kong di gerbang kedaulatan ekonomi nasional.
Nova menjelaskan
sesungguhnya RJ Lino telah mengkerdilkan anak bangsa dengan perpanjangan JICT
ke HPH Hong Kong. "Padahal selama 16 tahun dikelola putra-putri bangsa,
JICT telah menjelma menjadi pelabuhan petikemas terbaik di Indonesia dan Asia.
Secara kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia-red) dan teknologi sangatlah
memadai," ujar Nova.
Menurut Nova, Lino menjual aset emas bangsa begitu murah
kepada asing. Bayangkan, saat ini JICT dijual USD 215 juta lebih murah
ketimbang tahun 1999 sebesar USD 243 juta. Harga jual saat ini pun setara
dengan keuntungan JICT hanya dalam 2 tahun.
"Soal harga ini
SP JICT sudah menghitung bahwa nilai wajar JICT telah mark down oleh HPH,
Pelindo II, dan konsultannya Deutsch Bank.
Ada justifikasi JICT bisa dijual murah. Perhitungan SP JICT juga sesuai
dengan angka yang dihitung oleh Komisaris Pelindo II," ungkap Nova.
Sementara itu, artinya
ada potensi kerugian negara sebesar Rp.2,5 triliun dalam perjualan saham
tersebut. Belum lagi ditambah dengan hilangnya potensi pengelolaan pendapatan
sebesar Rp 30-35 triliun selama 20 tahun dikelola bersama asing.
Nova mengungkapkan tidak hanya sampai di situ
persoalannya, demi ambisinya, Lino telah mengangkangi 4 surat menteri yang
mengharuskannya tunduk kepada UU pelayaran dengan meminta izin konsesi kepada
Kemenhub sebelum perpanjang dengan asing.
"Lino telah
berupaya perpanjang konsesi JICT sejak 2012 dengan hanya bermodal opini hukum
Jamdatun (Jaksa Agung Muda Tata Negara-red) untuk dilawan dengan UU
Pel
ayaran," kata Nova.
Selain itu, imbuh
Nova, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komite Pengawasan
sudah memperingati Lino soal penunjukkan langsung HPH. Tapi Lino tidak
menggubris dan terus jalan dengan ambisinya. Namun, SP JICT sudah upaya
penyelamatan dan berjuang agar JICT bisa dikelola nasional 100 persen sejak
2014.
"Namun, Lino
malah cap SP sebagai musuh negara dan bandit. Tidak sampai di situ, upaya
penggembosan serikat (Union Busting) lewat PHK dan mutasi juga dilancarkan
secara masif oleh Lino lewat Direksi JICT. Lino pun kerap menggunakan unsur
militer untuk intimidasi anggota SP JICT," ujar Nova.
Dia menjelaskan
melihat upaya-upaya represif dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Lino,
Federas Serikat Pekerja Maritim Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Buruh
Transportasi Pelabuhan Indonesia (FSBTPI), Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)
bersama SPJICT sepakat "Menyatukan Kekuatan" untuk melakukan
perlawanan penolakan perpanjangan konsesi JICT. (dade)
0 Comments