Oleh: Dodi Prasetya Azhari SH
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak
2015 , Desember nanti, masyarakat mulai diramaikan oleh banyak isu politik.
Salah satu isu hangat yang ramai diperbincangkan yaitu isu dinasti politik.
Dinasti politik yang di maksud adalah suatu hal yang mengacu pada keterlibatan
anggota keluarga untuk melanjutkan suksesi yang telah dirintis anggota keluarga
lainnya dalam kepemimpinan politik. Banyak politisi daerah yang menjadi
raja-raja kecil dan membangun kerajaan politik untuk meraih tahta kekuasaan.
Spirit karakteristik kekuasaan ala feodalisme
melanggengkan kekuasaan melalui politik yang bersifat kekerabatan dan
kekeluargaan yang saat ini sering disebut politik dinasti. Antara feodalisme
dan politik dinasti tertangkap nilai yang menunjukkan tedensi untuk membangun
kekuasaan dengan mempertahankan tradisi turun-temurun atau masih dalam
lingkungan kerabat dekat.
Misalnya seorang kepala daerah (ayahnya) yang
sudah berkuasa dua periode dan tidak bisa melanjutkan lagi, akhirnya
mencalonkan isteri, anak atau anggota keluarga lainnya untuk berlaga dalam
kontestasi politik seperti Pilkada.
Sebenarnya dalam kaca mata pandang yang
sederhana hal ini tidak menjadi soal. Namun ada hal yang menjadi permasalahan
diantaranya adalah banyak yang akhirnya demi melanggengkan kekuasaannya, kepala
daerah tersebut mengintervensi birokrasi atau elemen masyarakat untuk memilih
calon yang berasal dari anggota keluarganya tersebut. Selain mengintervensi,
ada juga indikasi lain, yakni tentang penggunaan anggaran daerah untuk
membiayai pencalonan anggota keluarganya tersebut. Skema politik seperti ini,
banyak juga yang akhirnya membuahkan hasil kemenangan bagi anggota keluarganya
dalam kontestasi politik. Seperti contoh, Yance di Indramayu dan Ratu Atut di
Banten.
Politik dinasti dalam praktek demokrasi
Indonesia melalui sistem Pemilihan kepala daerah sama saja menciptakan ruang
bagi munculnya raja-raja kecil yang berkuasa dalam suatu wilayah tertentu
dengan segala kekuasaannya. Ia bebas mengeluarkan keputusan-keputusan yang
justru seringkali hanya menguntungkan keluarga dan kerabatnya saja.
Banyak yang kemudian menjadi lupa untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini berarti menghambat usaha pemerintah
pusat untuk menyejahterakan rakyat. Dan praktek politik dinasti sebenarnya
telah mengkhianati spirit positif dari sebuah konsep otonomi daerah memperkuat
pertahanan dan ketahanan nasional.
Sejak 8 Juli 2015 kemarin , Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan menghapus pasal larangan keluarga petahana (incumbent)
ikut serta pada Pilkada serentak Desember 2015 nanti. Putusan tersebut
mengabulkan gugatan dari Adnan Purichta Ichsan yang menggugat Pasal 7 huruf r
UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Keputusan MK menyatakan bahwa
"Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i
ayat 2 UUD 1945 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak
konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan."
Dibuatnya aturan dalam UU Pilkada 2015 tentang
larangan keluarga petahana mencalonkan diri karena dalam Pilkada
dilatarbelakangi sering terjadinya berbagai kecurangan seperti penggunaan
fasilitas negara, intimidasi, politisi, dan mobilisasi PNS dan birokrasi di
daerah untuk mendukung calon tertentu. Oleh karena itu, persaingan antarcalon
kepala daerah yang bersaing menjadi tidak fair.
Ada kisah menarik dalam Islam, saat-saat akhir
kepemimpinan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menetapkan atau mewasiatkan
siapa yang akan menjadi penggantinya sebagai pemimpin umat. Abu Bakar, Umar
bahkan Ali pun tidak mendapati Rasulullah SAW berpesan tentang siapa yang akan
memegang tongkat estafet kepemimpinan umat Islam.
Namun ada sebagian umat menganggap, ada satu
momen, dimana Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi
pemimpin selanjutnya setelah dirinya .pernyataan ini keluar setelah Rasulullah
SAW melaksanakan sholat malam, Rasul meminta Ali untuk menghadap dan kemudian
berkata kepada Ali “Barang siapa yang menjadikan aku pemimipinnya, maka Ali
adalah pemimpinnya”.
Golongan yang menyatakan ini kemudian bernama
Syiah. Syiah menganggap pernyataan Rasul telah menunjuk Ali sebagai penerusnya
kelak. Tetapi bagi kalangan Sunni, pernyataan tersebut merupakan bentuk kasih
sayang Rasul terhadap Ali dan memang kedekatan Rasul dengan Ali tidak diragukan
lagi, karena Ali juga sebagai menantu Rasul.
Ada korelasi antara risalah tersebut dengan
kenyataan dunia perpolitikan kini tentang dinasti politik. Risalah ini bias
menjadi acuan serta sentilan bagi orang-orang yang ingin membangun sebuah
dinasti politik. Sikap sang Demokrat sejati yang ditunjukkan oleh Rasulullah
idealnya bisa menjadi Uswatun Hasanah bagi para politisi dalam mengembangkan
dan membangunan kepemimpinan politik.
Walaupun Rasul (mungkin) tidak pernah bicara
tentang apa itu Demokrasi atau tentang system politik dan system pemerintah
modern, tetapi Rasul telah mengaplikasikan demokrasi sebagai sebuah ilmu dalam Islam dengan tanpa
batasan. Sifat seperti ini dalam bahasa sansekerta disebut Wujud Hana Tan Kena
Kinira, seseorang memiliki ilmu terbatas, namun penerapannya haruslah tanpa
batas.
Setidaknya ada dua pelajaran yang bias dipetik
dalam risalah tersebut. Pertama, bahwa Rasulullah SAW mengutamakan kedaulatan umat diatas
kepentingan pribadinya. Mungkin, Rasulullah SAW berpikir dan percaya bahwa
kadaulatan umat akan membawa kemaslahatan untuk umat juga, sehingga Rasul-pun
tidak mengintervensi atau menyarankan umat untuk memilih dan mengangkat
pemimpinan dari anggota keluarganya.
Kenyataan hari ini, banyak politisi daerah
yang mengintervensi birokrasi atau elemen masyarakat untuk memenangkan calon
yang berasal dari anggota keluarganya, bahkan ada juga yang menggunakan
anggaran daerah untuk pemenangan dan kampanye anggota keluarganya. Kedua,
gagasan tentang suksesi keturunan berlawanan dengan prinsip Islam, dimana
seorang orang setara dihadapan Allah SWT.
Artinya, setiap orang adalah pemimpin, sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 124; “Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: ”(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
Risalah ini bisa menjadi cerminan bagi
politisi agar kiranya dapat mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW. Islam melalui Rasulullah SAW telah membuat sebuah sistem politik modern
dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi modern. Rasulullah SAW telah memberikan
kita pelajaran tentang membangun dan mengembangkan sebuah kepemimpinan umat
yang didasari oleh kedaulatan umat.
Dengan kata lain, bahwa dinasti politik sangat
bertentangan dan berlawanan dengan Islam, karena Rasul telah memberikan teladan
dengan sebuah sikap sang demokrat sejati bagi umatnya. Saatnya kita belajar,
dinasti politik tidak memberikan kemaslahatan bagi negara, namun hanya membawa
dampak negatif bagi negara kita dan menjadi penyebab utamanya timbulnya praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sirkulasi kepemimpinan tidak berjalan
dengan baik dan hanya akan dimenangkan dari kalangan disekitar dinasti politik
tersebut.
Pada gelaran pilkada serentak di wilayah
Banten nanti terindikasi ada upaya penguatan kembali bangunan politik dinasti
hal ini didasarkan pada fakta setidaknya terdapat adik, ipar, dan menantu Ratu
Atut Chosiyah yang akan 'manggung' dengan dukungan mayoritas partai.
Ratu Tatu Chasanah yang merupakan adik Atut
akan maju sebagai calon Bupati Kabupaten Serang didampingi Panji Tirtayasa
didukung oleh delapan partai yaitu Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, Nasdem, PPP,
dan Demokrat.
Sedangkan Airin Rachmi Diany, ipar Ratu Atut
atau istri dari Tb. Chaeri Wardhana alias Wawan, akan kembali berpasangan
dengan Benyamin Davnie untuk maju di pilkada Kota Tangsel. Pasangan ini
didukung oleh enam partai yakni Golkar, PKS, PKB, PAN, NasDem, dan PPP.
Sementara itu, ada juga menantu Ratu Atut,
Tanto Warsono Arban yang merupakan suami dari anak kedua Ratu Atut, Andiara
Aprilia Hikmat maju sebagai calon Wakil Bupati Pandeglang yang mendampingi Irna
Narulita, anggota DPR dan istri mantan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah. Pasangan
Irna-Tanto mendapatkan dukungan dari PKB, Nasdem, PKS, PBB, PAN, Hanura, dan Gerindra selain dari
PPP dan Golkar.
Hal ini harus bisa menjadi perhatian publik,
karena faktanya praktek politik dinasti di Indonesia memperlihatkan
kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power yang pada akhirnya
menciptakan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penulis : Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)
0 Comments