Aparat penegak hukum dari 4 provinsi dan Sekda Banten Ranta Soeharta seusai melakukan kesepakatan penanganan perkara anak. (Foto: Istimewa) |
NET - Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Republik Indonesia menggelar
kegiatan peningkatan kapasitas aparat hukum dalam perlindungan dan penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum bertempat di Le Dian Hotel, pada Selasa (22/5/2018).
Acara yang diikuti aparat penegak
hukum baik dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dari empat daerah
di Indonesia yakni Provinsi Banten, Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu
tersebut, dibuka secara resmi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten
Ranta Soeharta.
Hadir dalam acara tersebut Pelaksana
tugas (Plt) Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA RI Lies Rosdianty,
Asisten Deputi Perlindungan Anak dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PPPA
RI Ali Khasan, serta para narasumber dari Mahkamah Agung, Kepolisian RI dan
Biro Hukum dan Humas Kementerian PPPA RI.
Usai membuka acara, Sekda dalam
keterangan persnya menyampaikan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
tidak dapat disamakan dengan penanganan pada orang dewasa pada umumnya.
Dibutuhkan cara khusus agar penanganan tetap berjalan namun tidak mengganggu
kejiwaan anak tersebut.
“Penanganan hukum terhadap anak
ini baik sebagai pelaku atau korban tidak bisa sembarangan, ada cara khusus
mulai dari proses penyidikan hingga pengadilan,” tutur Sekda.
Sekda mengungkapkan keempat
daerah yang masuk dalam satu regional tersebut
diharapkan dapat meningkatkan sinkronisasi dan penyamaan persepsi
mengenai cara penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di
masing-masing daerahnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Banten telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2014 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan. Dalam
pelaksanaannya, Sekda mengakui belum berjalan secara maksimal dan membutuhkan
banyak perbaikan. Hal ini disebabkan, persoalan sosial yang berkaitan dengan
anak dan perempuan berkembang cukup dinamis seiring dengan perkembangan daerah.
“Setiap tahunnya kasus-kasus yang
menimpa anak ini memang terus mengalami peningkatan, mengingat Provinsi Banten
ini menjadi daerah industri. Untuk itu, jika diperlukan nanti akan ditata
kembali,” ungkap Sekda.
Menurut Sekda, Perda tersebut
menjadi acuan bagaimana penangana terhadap anak-anak yang berhadapan dengan
masalah hukum. Karena, penangananya bukan sebatas soal putusan pengadilan,
melainkan unsur kejiwaan anak-anak khususnya pasca proses hukum.
“Pasti kan malu, tidak mau sekolah
lagi, rata-rata kan labil. Inilah yang harus kita samakan persepsinya agar
tidak salah tangani,” jelas Sekda.
Sementara itu, Plt Deputi
Perlindungan Anak Kementerian PPPA RI Lies Rosdianty didampingi Asisten Deputi
Perlindungan Anak dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PPPA RI Ali Khasan
menjelaskan dilaksanakannya kegiatan ini merupakan bagian dari sinergitas
antara Pemerintah dengan aparat penegak hukum untuk melindungi anak-anak yang
berhadapan dengan hukum. Sesuai dengan kewenangan Kementerian PPPA RI, sebagai
Kementerian yang menyelenggarakan perlindungan anak, diharuskan untuk melakukan
koordinasi lintas sektor yang terkait.
“Termasuk kegiatan ini untuk
menyakaman persepsi mengenai cara penanganan ABH yang sesuai dengan aturan yang
ada,” papar Lies.
Asisten Deputi Perlindungan Anak
dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PPPA RI Ali Khasan menambahkan upaya
yang dilakukan Kementerian PPPA adalah koordinasi lintas sektor, karena untuk
impelentasi adalah oleh masing-masing instansi terkait. Selain itu, dibutuhkan
pula komitmen bersama melaksanakan ketentuan sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Undang-undang sudah ada, tinggal
bagaimana pelaksanaannya di lapangan agar sesuai maka harus disamakan persepsi
agar semua kasus bisa diminimalisir,” imbuh Ali Khasan. (*/ril)
0 Comments