Ilustrasi logo Hari Pers Nasional (HPN): tanggal 9 Februari tak tergantikan. (Foto:Istimewa) |
Oleh: Primaswolo Sudjono
POLEMIK tanggal 9 Februari menjadi
Hari Pers Nasional (HPN) terus muncul tiap tahunnya oleh Alian Jurnalis
Indonesia (AJI) dan kemudian diikuti Ikataran Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Penolakan mereka dilatarbelakangi oleh ‘dendam’ masa lalu, baik terhadap Orde Baru
maupun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sehingga menganggap bahwa tanggal 9
Februari 1946, merupakan hari kelahiran organisasi PWI dan penetapannya pun
dilakukan pada masa Orde Baru.
Padahal sebetulnya, jika melihat sejarah, seperti kutipan berita Harian
Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang terbit sejak 27 September 1945, dan
fakta lainnya, tanggal tersebut merupakan momentum bertemunya sejumlah
perhimpunan wartawan, perusahaan pers waktu itu, hingga Pemerintah Republik
Indonesia (RI) yang baru terbentuk, melalui Kongres Wartarwan Indonesia di Kota
Solo. Kongres berlangsung selama 2 hari, tanggal 9-10 Februari 1946.
Kongres dilakukan dengan semangat mempersatukan para pelaku pers, untuk
berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Apalagi saat itu, Belanda
sedang gencar ingin merebut kembali wilayah Indonesia melalui agresi
militernya. Pers pada waktu itu menjadi tonggak penting dalam memberikan
informasi mengenai perjuangan, perang dan nasionalisme kepada masyarakat. Pers
pula yang saat itu memberitakan kondisi terbaru mengenai kemenangan perang para
pejuang melawan Belanda.
Nuansa kejuangan pun sangat terlihat dalam kongres tersebut. Terlebih
menghadirkan tokoh pergerakan nasional yang cukup keras waktu, yakni Tan
Malaka. Tokoh ini kemudian oleh Bung Karno ditetapkan sebagai pahlawan
nasional. Tan seperti dikutip Kedaulatan Rakyat, menyampaikan kondisi
peperangan di Asia dan semangat untuk menghadapi peperangan khususnya melawan
penjajahan kembali.
Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan dalam kongres tersebut
menyebutkan penting peran wartawan untuk menghadapi bahaya penjajahan kembali
oleh Belanda. Ancaman penjajahan kembali akan mengganggu pembangunan negara
yang baru saja merdeka.
Untuk melawan penjajah tersebut, maka dibutuhkan persatuan, termasuk para
wartawan yang waktu itu memang banyak terlibat dalam memberitakan perjuangan dan
nasionalisme. Untuk itu kongres pun sepakat membentuk Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) sebagai wadah untuk mempersatukan semangat kejuangan insan pers dalam melawan
penjajahan Belanda.
Melihat peristiwa Kongres Wartawan Indonesia tersebut, sebetulnya tidak
sebatas lahirnya organisasi PWI, tetapi harus dilihat bahwa tanggal 9 Februari
merupakan momentum kesadaran bersama bersatunya insan pers dalam melawan
penjajahan Belanda.
Peristiwa yang menunjukkan semangat kejuangan juga dilakukan sebelumnya, seperti
Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda tanggal 9 Oktober 1928 yang
ditetapkan sebagai Hari Pemuda. Atau kemudian lahirnya organisasi Boedi Oetomo
oleh dr Soetomo, Gunawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji dand digagas oleh Wahidin
Soedirohoesodo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Tanggal 20 Mei tersebut ditetapkan sebagai Kebangkitan Nasional,
meski sebetulnya tanggal 20 Mei merupakan kelahiran organisasi Boedi Oetomo.
Jika kemudian ada upaya mencari tanggal HPN, termasuk gagasan tanggal yang
disampaikan oleh AJI dan IJTI, tidak bisa mengalahkan momentum peristiwa
Kongres Wartawan Indonesia yang begitu bermakna dan penting. Apalagi muncul ide
memperingati dari meninggalnya tokoh pers, karena banyak sekali tokoh yang ada
di Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan pers sehingga akan menimbulkan
ketidakpuasan dari keluarga atau kelompok lain. Atau lahirnya Undang-Undang (UU)
Pers, yang tentu sangat berpeluang berganti atau direvisi.
Jika kemudian mengabaikan peristiwa Kongres
Wartawan Indonesia ini, sama saja mengesampingkan peran besar dari banyak pihak
waktu itu, baik para tokoh pers, perusahaan pers, maupun perhimpunan wartawan
yang bertujuan sangat mulia untuk bersatu melawan penjajahan.
Melihat terus dimunculkannya wacana pergantian tanggal HPN, PWI Pusat perlu
menyiapkan amunisi untuk melawannya dengan menggali sejarah peristiwa Kongres
Wartawan Indonesia tersebut. Apalagi momentum peristiwa tersebut telah
dimonumenkan oleh Pemerintah dan menjadi museum di Solo.
Selanjutnya dalam setiap perayaan HPN terus digelorakan semangat kejuangan
untuk lebih mengingat peristiwa 9 Februari 1945. Kalau dulu semangat kejuangan
melawan penjajahan, maka saat ini tetap semangat kejuangan dalam konteks
kekinian.
Penulis
adalah:
Sekretaris Dewan
Kehormatan Daerah PWI Daerah Istimewa Yogyakarta.
0 Comments