Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berhala Politik Pencitraan Dan Revolusi Media Massa Di Ruang Demokrasi Yang Dikebiri (2)

Gan Gan R. A. 
(Foto: koleksi pribadi)     
Oleh : Gan-Gan R.A. 

POLITIK pencitraan memiliki implikasi negatif yang krusial sekaligus menampilkan positivisme visual dari figur yang dibentuk konsultan politik. Implikasi negatif  dari politik pencitraan adalah pemberhalaan terhadap figur yang belum tentu memiliki kredibilitas, integritas, kapasitas intelektual yang masih diragukan, wawasan multidisipliner keilmuan sebagai modal dasar dan managemen kepemimpinan yang harus diuji dalam prestasi real, bukan prestasi yang direkayasa, kemudian mendapatkan beatifikasi dari media massa yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik jangka pendek dibawah kendali para pemilik modal.

Positivisme politik pencitraan menghadirkan mozaik biografis-minimalis dari figur yang harus diketahui masyarakat bahwa figur yang tengah diusung adalah figur yang memiliki program, visi dan misi yang berakar di lapisan masyarakat. Politik pencitraan sesungguhnya mulai lepas dari koridor moral dan etika politik.

Dengan bius informasi dari berita media massa, politik pencitraan menjelma berhala bagi para politisi yang dikultuskan rezim media massa dengan daya sihir kekuatan audio/ visual-nya, bahkan rezim media massa sanggup untuk memoles “seorang mafia”  yang terindikasi tindak pidana korupsi menjadi ketua umum sebuah partai politik dan tampil sebagai pahlawan karbitan yang menduduki kursi terhormat di gedung DPR.

Inilah salah satu dahsyatnya bentuk kehebatan dari politik pencitraan yang sistematis dari revolusi media massa di abad milenium ke-3 sebagai era perang tekhnologi digital yang menyerbu hampir semua sektor kehidupan umat manusia.

Revolusi media massa telah merobohkan dimensi ruang dan waktu. Informasi yang bergerak sangat cepat menghadirkan dunia dalam genggaman tangan. Setiap detik masyarakat bukan hanya kaum urban yang hidup di kota kosmopolitan, tetapi juga di pelosok pedesaan, kaum marginal pun sudah terserang “wabah” virus informasi yang dapat diakses melalui jaringan internet. Ponsel pintar menjadi bagian gaya hidup yang nyaris tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi menu utama dalam daftar pola hidup konsumtif di peradaban abad 21.

Menjamurnya jejaring sosial media di dunia maya menciptakan ruang komunikasi, memperlebar wilayah diskusi yang memancing pemikiran kritis masyarakat tentang tema sosial-politik-ekonomi yang tengah menjadi tema sentral di media massa. Proses sharing tulisan, gambar dan berita seringkali lolos tanpa proses validitas di level verifikasi yang ketat.

Bahkan dunia jurnalisme pun kebobolan dalam menurunkan berita/ tulisan, mengabaikan cek and balance dengan melakukan konfirmasi, kroscek, dan investigasi akurasi data. Suasana kompetitif antar media massa digital yang memacu kecepatan menangkap berita ekslusif telah menjatuhkan kualitas jurnalisme sekelas “jurnalisme buzzer” yang terperangkap sebagai produsen hoax yang destruktif.

Revolusi media massa menjebol tembok pertahanan lintas teritorial. Informasi dari rezim media massa tak ubahnya desing peluru dari mesin senapan canggih yang memuntahkan berbagai amunisi informasi ter-aktual. Revolusi media massa adalah komoditas industri pers dengan liberalisme jurnalistik yang berdiri di atas konsep industri neokapitalisme.

Revolusi media massa sangat efektif untuk mengubah kultur, mainset dan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di tengah hingar bingar jargon politik menjelang pesta demokrasi, rezim media massa memberikan variasi kepada masyarakat pada berbagai pilihan untuk mendapatkan informasi yang sesuai selera. Masyarakat secara tidak langsung dididik untuk bersikap cerdas dalam mem-filter informasi variatif yang dikehendakinya.
***
 Mendapatkan informasi adalah hak warga negara Indonesia yang dilindungi konstitusi. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tegas menyatakan : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta ber  dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”  Bunyi pasal 28 F terang dan gamblang menjelaskan tentang hak individual untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan berbagai pilihan sarana yang tersedia. Tetapi lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 terutama BAB VII Pasal 27 Ayat (3) telah mempersempit ruang demokrasi.

Kebebasan berpendapat harus berhadapan dengan delik aduan (klach delic) pasal pencemaran nama baik UU ITE (lex spesialis). Pasal pencemaran nama baik merupakan epigonisme interpretasi gramatikal dari kontruksi teks yuridis Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 27 Ayat (3) UU ITE telah menjelma rezim linguistik yuridis yang dibangun tirani kekuasaan kepada demokrasi atas kontruksi teks hukum yang mencederai azas demokrasi.

Azas demokrasi salah satunya adalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Kebebasan berpendapat tentunya berbeda dengan kebebasan bertindak. Kebebasan berpendapat berada dalam tataran pemikiran yang dikemas dalam formula pernyataan, analisa kritik yang berangkat dari perspektif atas realitas sosial dan diekspresikan dalam bentuk tulisan, pidato/ ceramah yang didistribukan oleh media massa atau jejaring sosial media sebagai alat untuk menyebarkan informasi.

Berbagai kasus pencemaran nama baik telah banyak memakan korban, dimulai dari kalangan agamawan, mahasiswa, aktivis pro demokrasi yang bersikap kritis melontarkan kritik tajam kepada rezim yang tengah berkuasa. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Revieuw (JR)  Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terhadap Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945  lebih didominasi oleh latar karakteristik kultur masyarakat timur yang cenderung masih memelihara watak feodalisme serta alergi terhadap kritik. Padahal 51 negara yang menganut paham demokrasi sudah meninggalkan pasal pencemaran nama baik karena sudah tidak sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Di tengah revolusi media massa yang secepat kilat mengirimkan berbagai informasi, ruang demokrasi telah dikebiri oleh produk hukum yang kontradiksi dengan amanat konstitusi. Hukum adalah produk politik. Azas keadilan dan kemanfaatan harus menjadi fondasi bagi kontruksi teks hukum yang dibangun oleh kesepakatan politik.

Pemimpin prematur yang dilahirkan dari mesin politik pencitraan seringkali terjebak oleh kepentingan politik jangka pendek. Intervensi kekuatan pemilik modal mengendalikan pandangan politik pemegang kekuasaan dan memburamkan pandangan sosial; krisis multi-dimensi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa yang demokratis.

Pemikiran kritis selayaknya diapresiasi sebagai proses untuk memperbaiki kehidupan berdemokrasi. Sejarah membuka kitabnya;  tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa memenjarakan kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat sekalipun tirani kekuasaan mengancamnya dengan todongan senjata dan sel penjara (habis).          

Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah.
           
           

Post a Comment

0 Comments