Fauza Assyab (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh Fauza Assyab
DEMOKRASI secara istilah berasal dari kata demos dan dan
cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan.
Dengan demikian demokrasi adalah Pemerintahan yang
berdasarkan kepentingan rakyat. Semata-mata semua kepentingan rakyat
tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga negara. Di ranah ini pula terbagi
demokrasi dalam bentuk demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.
Oleh pemikir atau Mazhab Frankfrut juga memunculkan
demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi deliberatif, yakni demokrasi yang
menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap
penyusunan kebijakan Pemerintahan. Hingga antara Pemerintah dan rakyat
terbangun dalam komunikasi yang
partisipatoris.
Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai anak kandung
demokrasi yang dijalankan untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dalam
fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai
dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.
Melalui pemilu pula dapat terwujud dua konsep demokrasi dan
negara hukum yang telah diamanatkan dalam konstitusi (Undang-Undang Negera
Republik Indonesia-UUD NRI Tahun 1945). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
ayat 2 "kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang." Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 ditegaskan *“Negara Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas hukum.”
Dari prinsip-prinsip Pemilu tersebut dipahami bahwa Pemilu
merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan
kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi
secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang
memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan _(representative
government)_. Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki
hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan
wakilnya di lembaga legislatif.
Pemilu kini telah menjadi _token of membership_ bagi sebuah
negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi.
Dalam konteks ini, Pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam
modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi
pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan negara.
Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi
derajat partsipasi politik di sebuah negara. Pemilu menjadi arena kompetisi
untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada
pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih
anggota lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah
amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilpres
pun dimasukkan ke dalam rezim Pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu
di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan
undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim Pemilu. Meskipun di tengah
masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah
pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu
yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa
pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan
berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan
rahasia, serta jujur dan adil.
Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara
langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi
persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin
berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga negara yang berumur
21 tahun berhak untuk dipilih.
Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang
menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga negara yang
telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian)
berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, dan status sosial.
Bebas berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam
melaksanakannya setiap waga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih
sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Rahasia berarti dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh
pihak manapun dan dengan jalan apapun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak
dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Jujur berarti dalam
menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, Pemerintah, partai
politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta
semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak
jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku. Adil berarti
dalam menyelenggarakan Pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.
Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di
atas, membincangkan ranah Pemilu sebagai perwujudan negara demokrasi dan negara
hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Pemilihan umum
seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari
berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal
maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat
untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.
Lantas bagaimana jika kejadianya justru malah partai politik
yang secara komunal berbondong-bondong mengusung satu pasangan calon, apakah
masih dapat disebut mewakili suara rakyat atau hanya menjadikan rakyat sebagai
objek politik demi kepentingan kelompok tersebut. ***
Penulis adalah:
Forum Komunikasi Alumni (Fokal) Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM)
0 Comments