Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pilkada 2018: Rakyat Dijadikan Obyek Politik Kepentingan Kelompok

Fauza Assyab (Foto: koleksi pribadi)     
Oleh Fauza Assyab    

DEMOKRASI secara istilah berasal dari kata demos dan dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan.

Dengan demikian demokrasi adalah Pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat. Semata-mata semua kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga negara. Di ranah ini pula terbagi demokrasi dalam bentuk demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.

Oleh pemikir atau Mazhab Frankfrut juga memunculkan demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi deliberatif, yakni demokrasi yang menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap penyusunan kebijakan Pemerintahan. Hingga antara Pemerintah dan rakyat terbangun dalam  komunikasi yang partisipatoris.

Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai anak kandung demokrasi yang dijalankan untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.

Melalui pemilu pula dapat terwujud dua konsep demokrasi dan negara hukum yang telah diamanatkan dalam konstitusi (Undang-Undang Negera Republik Indonesia-UUD NRI Tahun 1945). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang." Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 ditegaskan *“Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.”

Dari prinsip-prinsip Pemilu tersebut dipahami bahwa Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.

Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan _(representative government)_. Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.

Pemilu kini telah menjadi _token of membership_ bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi. Dalam konteks ini, Pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan negara.

Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partsipasi politik di sebuah negara. Pemilu menjadi arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.

Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim Pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim Pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.

Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih.

Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

Bebas berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakannya setiap waga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.

Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, Pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku. Adil berarti dalam menyelenggarakan Pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.

Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di atas, membincangkan ranah Pemilu sebagai perwujudan negara demokrasi dan negara hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Pemilihan umum seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.

Lantas bagaimana jika kejadianya justru malah partai politik yang secara komunal berbondong-bondong mengusung satu pasangan calon, apakah masih dapat disebut mewakili suara rakyat atau hanya menjadikan rakyat sebagai objek politik demi kepentingan kelompok tersebut. ***


Penulis adalah:

Forum Komunikasi Alumni (Fokal) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Post a Comment

0 Comments