Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berhala Politik Pencitraan Dan Revolusi Media Massa Di Ruang Demokrasi Yang Dikebiri (1)

Gan Gan R.A. (Foto: Koleksi pribadi) 
Oleh : Gan-Gan R.A. 

KEKUASAAN  menurut teori filsuf strukturalisme, Michael Foucoult  bukanlah sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dilegitimasikan kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Kekuasaan adalah satu dimensi relasi, di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.

            Foucoult merumuskan sebuah teori kekuasaan yang meruntuhkan monumen kultus pemikiran tentang paradigma kekuasaan konvensional yang bersifat metafisis-tradisional, di mana negara memiliki otoritas penuh untuk menjadikan rak Pilihannya sebagai objek intruksi di bawah kendali “absolutisme” kekuasaan lembaga negara. 

Dalam perspektif Foucoult, logika kekuasaan dirumuskan kembali dengan menggali akar kekuasaan itu sendiri, sebuah tafsir strukturalisme yang mereduksi hirarki kekuasaan secara radikal;  tentang hadirnya unsur relasi yang menjadikan relasi berinteraksi menyusun koalisi kekuasaan dalam satu dimensi untuk terbentuknya kekuatan personal dan organisasi di luar hegemoni kendali kekuasaan resmi. Kekuatan relasi seperti ini semacam antitesa yang beroposisi pada rumus kekuasaan klasik yang menekankan pada misi utama politik, yakni meraih kekuasaan.
***
Politik adalah perang. Politik adalah seni bertempur untuk meraih kekuasaan. Meraih kekuasaan memerlukan instrumen vital dalam mendesain manuver politik. Politik adalah seni kemungkinan yang ditunggangi ambisi serta digerakan pola taktik dan strategi dalam mesin pertempuran politk demi tercapainya misi utama politik, yaitu meraih kekuasaan yang seringkali menjadi tujuan akhir misi politik, bukan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan cita-cita suci politik;  keadilan dalam dunia hukum, menjaga kedaulatan negara dan bangsa serta kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial dan memperbaiki tatanan peradaban yang bermartabat. 

Ketika kekuasaan berada dalam genggaman pemenang kontestasi politik, kekuasaan bukan lagi kendaraan untuk memanifestasikan program dan realisasi janji. Kekuasaan telah berubah menjadi candu yang menyuntikan toksik ke alam bawah sadar penguasa. Kekuasaan menjadi ruang balas jasa kepada sang konspirator yang mendesain skenario untuk mengantarkan kandidat sebagai pemenang dalam pertempuran politik. Kekuasaan menjelma ajang transaksional mesin partai kepada pihak pemilik modal yang telah membiayai pertarungan politik.

Dalam kamus seni pertempuran politik, ada satu senjata yang mematikan, yaitu politik pencitraan. Menurut pakar marketing politik dari London School of Economic (LSE), Margaret Scammell, politik pencitraan dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang memiliki reputasi baik, dan diartikan sebagai trustworthiness and credibility of the candidates or parties

Politik pencitraan dengan legitimasi rezim media massa terbukti ampuh memoleskan gincu propaganda, membentuk opini serta menjadikannya sebagai episentrum politik; rekayasa prestasi yang dikembangkan asumsi untuk tumbuh menjadi issu nasional, tranding topic stasiun televisi, berita utama yang menghiasi halaman depan koran, majalah, dan hot news yang diviralkan media sosial juga spanduk dan baliho yang memuat kalimat-kalimat jargon bombastis. Inilah paradoksal kekuasaan ketika unsur “kegilaan” dalam akrobatik politik pencitraan merasuki lapisan irasionalitas kekuasaan. 

Rakyat disuguhi tontonan sandiwara dari lensa kamera yang menghasilkan kamuflase visual dengan dramatisasi suasana yang nyaris sempurna;  teks retorika yang berdengung di depan mikrofon ideologi seperti pamflet manifesto yang diteriakkan parlemen jalanan. Heroisme dengan cita rasa patriotik, seperti panji-panji nasionalisme yang berkibar. Politik pencitraan dengan injeksi anggaran dana yang besar, bisa mengorbitkan kandidat pemimpin dari seorang kepala daerah menjadi figur pemimpin masa depan yang bisa menjawab segala bentuk permasalahan bangsa dalam kontestasi politik pesta demokrasi. Politik pencitraan harus membentuk image yang berkarakter, menjadikan figur kandidat tersebut sebagai media darling dengan mengupas semua sisi kehidupannya dari sudut pandang seorang “super star” yang memuaskan dahaga rindu masyarakat pada sosok yang berpihak pada kepentingan rakyat.
                                                                                ***
Politik pencitraan telah tumbuh menjadi sihir visual yang dipertontonkan kepada rakyat bukan sebagai edukasi managemen kepemimpinan, tetapi lebih kepada pesta pora tayangan jargon politik sinema yang memanipulasi realitas sosial. Awal mula politik pencitraan diakui sebagai strategi pemasaran politik yang jitu, ketika pertarungan John F.Kennedy melawan Richard Nixon dalam pemilihan Presiden Amerika tahun 1960. Kemenangan John F.Kennedy merupakan bukti politik pencitraan yang sukses menjadikan Kennedy sebagai calon pemimpin ideal yang berkualitas yang dilegitimasi jaringan media massa. 

Padahal debat capres di radio dimenangkan oleh Nixon, tetapi ketika debat capres di televisi yang lebih banyak menjangkau lapisan masyarakat, Kennedy unggul dengan elektabilitas yang membumbung tinggi. Tim sukses di lingkaran Kennedy membuat skenario politik pencitraan yang dahsyat, di mana Kennedy tampil sebagai aktor politisi dengan performance flamboyan yang mempesona, gesture seorang visioner, retorika seorang orator sampai pada model rambut dan busana diatur secara detail mungkin, karena televisi adalah panggung visual yang merepresentasikan figur dalam tamasya mata penonton yang menjadi target perolehan suara kandidat. Sejak kemenangan Kennedy yang menggunakan taktik dan srategi pemasaran politik pencitraan, Amerika memelihara kesadaran tentang management politik pencitraan yang lebih sistematis dengan dukungan rezim media massa raksasa dan kekuatan dana fantastis untuk membiayai politik pencitraan global tentang kebijakan luar negeri Amerika.

Di Indonesia, politik pencitraan yang sukses secara gemilang dalam pertempuran politik yang digerakan mesin partai dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  melalui iklan layanan masyarakat, dimulai sejak SBY diberhentikan oleh Presiden Megawati dari jabatannya sebagai menteri, lalu maju sebagai capres dari partai demokrat yang didirikan SBY dengan memoles dirinya sebagai figur yang “disakiti” oleh pihak yang tengah berkuasa.  Kemenangan SBY dalam pertarungan pilpres melawan Megawati yang diusung PDI-P memperkokoh momentum politik pencitraan sebagai senjata ampuh yang banyak diadopsi oleh para politisi/ pejabat negara. 

Diakui atau tidak diakui, kepiawaian SBY sebagai politisi elegan memoles dirinya dengan etika prototype politisi santun, retorika yang tertata rapih dan gesture “sadar kamera” di depan kamera para jurnalis, menjadikannya kembali terpilih sebagai Presiden RI selama 2 periode. Politik pencitraan berhasil dibangun konsultan politik yang tergabung dalam tim sukses Cikeas telah berhasil membentuk opini publik dan empati massal serta sukses memasarkan figur SBY sebagai typikal  “jenderal yang berpikir”; konseptor, ahli strategi, negarawan serta memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. SBY dalam format politik pencitraan adalah seorang maharesi politik yang pandai bermanuver meski cenderung bermain di zona aman lewat sikap politiknya yang ambigu.

Di samping SBY, Presiden Jokowi tampaknya lebih sadar betul tentang politik pencitraan yang dipoles lebih sistematis dimulai ketika Jokowi menjabat sebagai walikota Solo; mesin  politik pencitraan bergerak agresif dan terstruktur menjadikan sosok Jokowi  layak diorbitkan untuk maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta dengan target prioritas politik calon Presiden RI yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang oleh tim sukses dalam lingkaran kolaborasi; konglomerat yang memiliki jaringan kuat ke Gedung Putih, purnawiran jenderal yang mempersiapkannya secara matang, para politisi senior dan rezim media massa di bawah komando majalah Tempo dan sekutu-sekutunya. 

Meski terkadang politik pencitraan yang dilakukan Jokowi “over dosis” bahkan seringkali menjadi boomerang dan berbalik arah menjadi serangan bullying nitizen dengan berbagai meme dan komentar-komentar pedas yang menjadi viral di jejaring sosial media. Hal ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintahan Jokowi dalam merepresentasikan konsep Nawacita yang telah berhenti di wilayah konseptual ide/ gagasan besar. Nawacita mesti dijewantahkan dalam bentuk kebijakan arah pembangunan kedaulatan ekonomi, supremasi hukum dan keputusan politik yang menjadikan kepentingan rakyat di atas segalanya. (bersambung…)

Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah.

Post a Comment

0 Comments