Syafril Elain: partai politik tidak punya nyali merebut kekuasaan. (Foto: Istimewa) |
Oleh Drs. Syafril Elain Rajo Basa, SH
PROSESI
pergantian pemimpin di Kota Tangerang berlangsung dalam lima tahun sekali, sama
dengan daerah lain. Pemililihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 adalah ajang pesta
demokrasi dalam menentukan pemimpin di daerah tersebut.
Sesuai jadwal yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia pendaftaran pasangan calon kepala daerah tinggal menghitung hari. Yakni tanggal 1 sampai 7 Januari 2018 pengumuman pendaftaran pasangan calon kepala daerah. Pada 8 sampai dengan 10 Januari 2018 pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Setiap kali
diselenggarakan pesta demokrasi baik untuk memilih kepala daerah maupun
pemimpin nasional yakni Presiden dan Wakil Presiden selalu disambut gembira
oleh rakyat Indonesia. Tentu yang paling gembira adalah partai politik yang
diberi hak oleh rakyat baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, untuk puncak kekuasaan.
Pergantian
pemimpin adalah jalan untuk menuju dan mencapai kekuasaan di tingkat daerah
maupun nasional. Namun, pada tahun 2018 pesta demokrasi khusus buat proses
pergantian kepala daerah sedangkan 2019 untuk Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, masih terasa sunyi sepi.
Bagaimana dengan proses
pergantian kepala daerah di Tangerang baik yang ada di Kabupaten Tangerang
maupun di Kota Tangerang? Sejauh ini di Kabupaten Tangerang dengan petahana
Ahmed Zaki Iskandar yang kini menjabat sebagai Bupati Tangerang, seperti bakal ada pasangan calon yang menantang.
Lalu bagaimana
dengan di Kota Tangerang? Setelah Arief Rachadiono Wismansyah yang kini
menjabat sebagai Walikota Tangerang, mengumumkan akan kembali berpsangan dengan H.
Sachruin yang kini Wakil Walikota Tangerang, seperti memupuskan harapan sejumlah orang
orang untuk berpasangan dengannya.
Pengumuman Arief
kembali maju pada Pilkada 2018 dengan menggandeng H. Sachrudin, disampaikan di depan
sembilan pimpinan partai politik yang punya kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kota Tangerang dan hanya menyisakan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), hampir dipastikan tidak ada lagi partai politik yang dapat
mengusung calon lain.
Apalagi
disebutkan PDIP dalam waktu dekat ini akan
ikut bergabung dengan mengusung pasangan Arief-Sachrudin. Meski PDIP adalah
satu-satunya partai politik yang ada di Kota Tangerang, punya kesempatan untuk
mengusung pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang tanpa
menggandenga partai politik lain.
Hal itu bisa
terjadi karena syarat mencalonkan kepala daerah dengan batasan 20 persen dari
jumlah kursi yang tersedia terpenuhi. Di DPRD Kota Tangerang ada 50 kursi dan
PDIP punya wakil rakyat 10 orang. Artinya, tanpa menggandeng partai politik
yang lain pun, PDIP bisa mengusulkan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang pada
Pilkada 2018 nanti.
Namun, kondisi
PDIP yang belakangan ini lebih banyak menunggu dan “melihat-lihat” ketimbang
sebagai menjadi pendobrak untuk mengusung calon kepala daerah, nyaris sulit
dipercaya “berani” melawan pasangan petahana yang kembali bergandengan tangan.
Bila hal ini yang
terjadi yakni PDIP tidak mengajukan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota
Tanggerang pada Pilkada 2018 dan ikut
bergabung mengusung pasangan Arief dan Sachrudin, boleh dibilang Demokrasi Di
Kota Tangerang Tidur. Partai politik didirikan terkandung maksud untuk meraih
kekuasaan melalui kursi yang ada di
legislatif maupun ekskutif, seperti kurang bermakna.
Mari kita lihat
pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang pada 2013. Partai politik
yang ada di Kota Tangerang gegap gempita menyambut Pilkada 2013 dengan mengajukan
lima pasangan calon. Mereka adalah:
1. Abdul
Sykur berpasangan dengan Hilmi Fuad.
2. Harry Mulya Zein berpasangan dengan Iskandar Zulkarnaen.
3. Dedi “Miing” Gumelar berpasangan
dengan Suratno Abubakar.
4. Arief Rachadiono Wismansyah
berpasangan dengan H. Sachrudin.
5. Ahmad Marju Kodri berpasangan dengan
Gatot Suprijanto.
Lima pasangan
calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang adalah jumlah terhitung banyak.
Meski ketika itu ada dalam undang-undang
menyebutkan syarat partai politik dan gabungan politik dapat mengajukan
pasangan calon bila memiliki paling
sedikit 15 persen dari jumlah kursi yang tersedia DPRD. Sekarang ini memang
ditingkatkan menjadi 20 persen seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Namun, apakah gara-gara
ditingkatkan lima persen menjadi 20 persen dari kursi tersedia sehingga partai
politik menciut nyalinya untuk mengajukan kader untuk meraih kursi nomor satu dan
dua di Kota Tangerang?
Apalagi biaya yang
harus dikeluarkan partai politik sekarang ditekan serendah mungkin agar dapat
leluasa untuk mengajukan kadernya merebut kursi kepala daerah. Biaya mulai dari
pemeriksaan kesehatan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang sampai kampanye semua disediakan dan tanggung oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang yang dananya dikucurkan melalui Anggaran Pendapat
dan Belanja Daerah (APBD).
Bahkan untuk
mendapat dukungan dari partai politik dan gabungan partai politik untuk maju
sebagai kepala daerah pun dilarang ada biaya dan itu dituangkan dalam
undang-undang. Ketentuan tentang
larangan adanya 'mahar' atau 'uang perahu' itu, tertuang dalam pasal 47 UU
Nomor 8 tahun 2015, tentang Pilkada. Berikut petikannya:
Ayat (1): Partai
Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk
apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Ayat (2): Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik
yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah
yang sama.
Ayat (3): Partai
Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Ayat (4): Setiap
orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan
Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Soal mahar atau
membeli perahu oleh calon kepala daerah sudah jelas dan tegas dilarang.
Artinya, calon kepala daerah tinggal berkomunikasi dengan partai politik untuk
dapat dipercaya agar diusung. Kepercayaan tersebut dapat diperoleh bila sang
calon punya kemampuan dan rekam jejak yang bagus tentunya. Begitu juga partai politik harus punya kemauan kuat untuk memajukan kadernya dan bukan mengusung kader partai politik lain.
Penulis pun
merasa heran kenapa di Kota Tangerang partai politik tidak punya nyali untuk
mengusung kadernya merebut kursi kepala daerah dalam hal ini Walikota dan
Walikota Tangerang. Bisa jadi antara yang diatur dalam undang-undang dengan
kehidupan nyata, berbeda.
Kalau anak-anak muda
bilang “Beda Bro antara teori dan praktik”. Lantas sampai kapan peraturan
perundang-undangan yang dibuat dengan biaya mahal tersebut bisa sama dengan
kehidupan nyata dalam poltik praktis? Tentu, kita harus menunggu demokrasi
bangun dari tidur di Kota Tangerang. ***
Penulis adalah:
Ketua Panwaslu Kota Tangerang periode 2008-2009
Ketua KPU Kota Tangerang.periode 2009-2013
0 Comments