Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Lutfi Zuhdi: Pesantren Bukan Sarang Tapi Jadi Sasaran Terorisme

Diskusi Kajian Timur Tengah:  radikal dan terorisme.
(Foto: Dade, TangerangNET.Com)  
NET - Silang pendapat pun terus berlanjut antara penegasan  gerakan terorisme sesuatu yang nyata dan kebeadaannya harus diwaspadai dengan pendapat yang seringkali menganggap enteng isu terorisme karena dianggap hanya rekayasa pihak tertentu.

Pendapat itu mengemukan dalam seminar Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Program Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI) Universitas Indonesia yang dihadiri Ulama dan Cendikiawan dalam mencari penyelesaian radikalisme dan terorisme atas nama agama menghadirkan, Prof. Dr. Irvan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT), Dr. Muhammad Lutfi Zuhdi (PSKTTI), KH. T. Zulkarnaen (Wasekjen MUI), Prof. Dr. Endang Turmudzi (LIPI), Ust. Zaetun Rasmin (KetuaOrmas Wahdah Islamiyyah), Dr. Yon Mahmudi (UI), Dr. Sri Mulyati (Muslimat NU), Dr. M. Nurul Irvan (UIN Jakarta), dan Ahmad Zubaidi, MA (Universitas Islam As-Syafiyah).

Dalam pembuka diskusi Cholil Nafis menyatakan radikalisme dan terorisme atas nama agama adalah fenomena yang tidak dapat dipungkiri apapun penyebabnya. Ia menyatakan sisi yang harus menjadi perhatian adalah mengapa ada orang yang mau bergabung pada kelompok-kelompok radikal dan bahkan mau menjadi martir untuk melakukan terorisme.

“Karena itu penanganan terorisme dan radikalisme adalah wajib, karena pada hakekatnya justru akan menyelematkan mereka kepada jalan jihad yang benar,” katanya, Senin (29/2), di UI Salemba, Jakarta.
Sementara itu, Dr Lutfie, terkait dengan isu pesantren menjadi sarang terorisme sebenarnya tidak benar, yang benar justru pesantren tersebut menjadi incaran terorisme. Di samping memang ada pesantren yang memang mengajarkan terorisme yang didasari oleh oleh keinginan untuk mengadakan perubahan secara radikal di Indonesia.

“Karena menurut mereka bentuk negara Indonesia belum final,” ujar Lutfie.

Irvan Idris, menjelaskan fenomena radikalisme dan terorisme ini merupakan ekstra ordinary crime, agains humanity, dan gerakannya bersifat bounderless. Terorisme lahir karena radikalisme. “Fenomena ini sangat menyedihkan ketika para pelaku bom bunuh diri adalah remaja usia 13-18 tahun,” ungkapnya.

Irvan menjelaskan solusi untuk mencegah gerakan radikal terorisme dengan melindungi masjid dan pesantren dari pembajakan kaum teroris. Karena mereka berusaha menguasai masjid dan pesantren untuk menyukseskan misinya di masa yang akan datang.

“Salah satu cara pencegahan adalah dengan soft approuch tidak mendahulukan pendekatan kekerasan. Terutama juga dengan mengawal para teroris yang ada di dalam lapas dan yang sudah keluar dari lapas. Kita kalah dalam penyebaran dakwah Islam rahmatan lil alamin, dibandingkan dengan bulletin-bulletin yang disebarka oleh mereka,” ungkapnya. 

Sementara itu, K Tengku Zulkarnaen mengatakan, Indonesia secara aktif harus turut mendamaikan dunia. Intoleransi berakar dari pemahaman agama yang keliru dan sesat serta tekstual. Pemahaman tekstualisme mengakibatkan paham radikal dan merasa benar sendiri.

Menurut Tengku, dalam mengatasi masalah seperti ini seharusnya ulama diajak bukan ditinggalkan dalam penanggulangan terorisme. Pemerintah lebih memilih pendekatan keamanan.
“Karena itu terorisme makin berkembang. Kalau mau berhasil dalam deradikalisasi maka harus harus dengann pendekatan soft” ujarnya.

Sedangkan menurut Zaetun, FGD semacam ini harus banyak dilakukan untuk menuntaskan persoalan radikalisme dan terorisme. Bahwa akar masalah teroris itu sebenarnya, karena adanya pemahaman yang keliru tentang jihad, nahi mungkar, sikap terhadap orang kafir, pembalasann terhadap kezaliman orang kafir, hijrah, dan khilafah. “Kenapa ada orang kampenye khilafah dibiarkan!. Nahi munkar harus dilakukan oleh pihak yang berkompeten. Penanganan kekerasan tidak boleh dengan kekerasan,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Sekjen PBNU, Endang Trumudzi, bahwa radikalisme dalam term Barat adalah terorisme. Gerakan NII luar biasa dan nyambung dengan Jamaah Islamiyyah dengan mengirim ke Afgan, dan sepulang dari Afgan mereka semakin Radikal. Radikalisme lebih bahaya dari terorisme, sehingga menangani isme harus lebih gencar dari penanganan gerakan teror itu sendiri,” ujaranya. (dade)

Post a Comment

0 Comments